Wednesday 28 July 2010

Nama : Muksalmina
NIM : 140 707 615
MK : Pemikiran Politik Islam Klasik dan Kontemporer


pertanyaan
1. Bagaimana anda memahami posisi pemikiran dalam Islam? Lalu kaitkan dengan dinamika sosial politik ketika pemikiran itu muncul dalam Islam.
2. Bagaimana anda memahami persoalan tingkat spiritual dalam politik Islam serta perseoalan moral di kalangan Barat ?
3. Tolong anda ringkaskan mengenai posisi “ Kepemimpinan “ dan “ Keperluan akan pemimpin” dalam sejarah politik Islam ( sesuai dengan diskusi kita dalam kelas ).

Jawab :
1. Menurut pemahaman saya, ada beberapa posisi pemikiran dalam Islam;
a. Posisi pemikiran dalam Islam adalah bagaimana upaya untuk memahami ajaran agama yang sesuai dengan kehendak Allah dan sekaligus bisa menjawab tuntutan realitas ummat.
b. Selalu dihadapkan pada tarik- menarik antara dua kutub ekstrem berupa wahyu yang tidak pernah berubah dan realitas sosial yang cenderung berubah.
c. Untuk memahami inti pesan wahyu Allah dalam rangka menjawab persoalan ummat yang cenderung berubah. Baik pada dataran teori dan metodelogi ( ushul al-fiqh ) maupun aplikasinya ( al-fiqh ).

Bila dikaitkan dengan dinamika sosial politik ketika pemikiran itu muncul dalam Islam;
a. Pada umumnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari Islam itu sendiri sebagai satu agama sejak awal munculnya pemikiran itu dalam Islam.
b. Terjadinya perdebatan seputar persoalan umat pada persoalan praktis ( al-fiqh ) dan amat jarang menyentuh persoalan teori maupun metodelogi ( ushul al- fiqh ) tidak terkecuali dalam hal negara dan pemerintahan.
c. Terjadinya kesalahpahaman terhadap ajaran Islam, Muhammad Qutub mengemukakan di dalam bukunya Syubuhat Halw al-Islam tentang salah paham terhadap ajaran Islam, yang berkaitan dengan hubungan agama dengan negara dan segala sesuatu yang terkait dengannya. Salah paham ini terlihat antara lain dari banyaknya kalangan yang merespon tentang ide negara dalam Islam namun kurang didukung oleh pengetahuan tentang ajaran Islam dan sejarah Islam itu sendiri. Ini terjadi karena kebanyakan dari mereka sudah terjebak pada pola berfikir sekuler yang menganggap agama sebagai urusan pribadi dan tidak layak untuk dihadirkan dalam perdebatan umum, dan hanya layak untuk diangkat dilembaga-lembaga yang dipandang patut dan cocok untuk membicarakan agama seperti mesjid, mushalla, atau tempat dan forum lain yang secara eksklusif disebut sebagai forum pengajian agama.
d. Realitas sejarah yang menunjukkan konflik atau pemisahan antara ‘ulama ( agama ) dan umara’ ( negara ) lebih menggambarkan penyimpangan dari ajaran yang seharusnya. Dengan kata lain, adanya pemikiran terhadap pemisahan tersebut terjadi justru karena penguasa politik cenderung otoriter dan korup yang kemudian mendapat tantangan keras dari para ulama’ yang menginginkan umat tetap berada pada jalur ajaran syari’ah.
e. Pada kondisi tersebut timbulnya pemikiran barat sekuler yang kemudian merasuk ke tengah-tengah umat Islam, salah satu contoh teori sejarah yang terkait dengan hal itu adalah ;
- Timbulnya teori lingkaran ( cylical theory ), yang menyatakan pada dasarnya mendapat fenomena-fenomena dasar yang sama antara satu peristiwa dengan yang lain. Perbedaan yang ada seringkali hanya pada dataran permukaan dan bukan esensi.
- Teori lingkaran mendapat tantangan keras pada masa Abad pertengahan, yaitu timbulnya teori takdir ( providential theory ) yang menyatakan manusia tidak lagi punya hak dan kemampuan untuk mengontrol diri dan lingkungannya ( dunia ), dan segala aktivitas kehidupan hanya diperuntukan untuk kehidupan di alam sana ( akhirat ),
- Kemudian teori diatas dibantah dengan teori Progres ( progress theory ) menyatakan bahwa manusia itu bisa berkembang dan maju, dan hal ini bisa dicapai jika manusia bisa mengontrol diri dan lingkungannya melalui penelitian secara alami yang pada dasarnya bisa dilakukan oleh setiap orang.




2. Tingkat Spiritual dalam politik Islam dan Moral di kalangan Barat
Sebagai makhluk multidimensi yaitu makhluk yang memiliki unsur fisik dan non fisik, proses pencarian nilai-nilai spiritual yang akan dilakukan seorang manusia tentunya bukanlah sesuatu yang mudah. Mengingat unsur fisik didalam diri manusia yang dalam proses aktualisasinya telah menciptakan realitas tersendiri dan terkadang sangat kontradiktif terhadap aspek spiritual, seperti materialisme dan rasionalitas didalam menentukan sebuah cara pandang. Pada masa sekarang, materialisme dan rasionalitas merupakan suatu wujud kongkrit eksistensi manusia. Sehingga segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia harus didasari atas kedua hal tersebut.
Dalam prinsipnya ia tidak mengenal hirarki kekuasaan. Bahwa ada kesultanan dan kerajaan dalam sejarah Islam, bukan lah ini berpangkal pada adanya hirarki kekuasaan dalam agama Islam, melainkan karena budaya masyarakatnya memang mengenal hirarki ini. Dalam semua lapisan masyarakat, apakah itu rakyat jelata, pejabat, polisi, tentara, kalangan orang bisnis, orang teknik atau teknologi, pendidikan, universitas, pekerja, petani, nelayan dan sebagainya, Islam menuntut pada pemeluknya untuk menegakkan ajaran Islam dalam diri, Negara, dan masyarakat. Ajaran Islam itu tersimpul dalam kata syari’ah.
Dalam politik Islam ada 3 tingkatan spiritual yaitu Kesadaraan, Mind ( ideologi ) dan Action.
• Kesadaran
Yaitu kepatuhan terhadap ketundukan kepada pemimpin. Ajaran normatif bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dari negara yang didukung pula oleh pengalaman ummat Islam di madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Hal ini terus berlangsung hingga masa khulafa’ al-Rashidun. Sebagaimana pada masa Nabi, para khalifah memegang kekuasaan baik menyangkut kekuasaan agama ( ulama’ ) ataupun politik ( umara’). Pada saat itu, kekuasaan untuk mendefinisikan hal-hal yang dianggap benar menyangkut ajaran syari’ah ( sebagai ulama’ ) berada ditangan para khalifah. Begitu pula, kekuasaan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada, untuk menjamin kesejahteraan masyarakat, dan juga untuk melanjutkan misi Islam yang telah dilakukan oleh Nabi ( sebagai Umara’ ). Semuanya berda di tangan para khalifah.
Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Natsir, adanya demokrasi yang dilandaskan kepada nilai-nilai ketuhanan. Keputusan mayoritas rakyat berpedoman kepada nilai-nilai ketuhanan itu sendiri.
• Mind ( ideologi )
Dalam masalah ini, banyak timbulnya nuansa-nuansa pemikiran politik. Setelah masa al-khulafa’ al- Rashidun, ada nuansa-nuansa yang agak berbeda. Kematian khalifah ketiga, Utsman ibn Affan, telah menyulut pertikaian politik yang cukup serius dan telah membuat peta politik agak berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Pengganti Utsman, Ali ibn Abi Thalib, gagal diterima semua umat. Ini antara lain ditandai dengan munculnya kekuasaan Umayyah, satu dinasti yang dikenal berorientasi kesukuan. Dalam perjalanan sejarahnya. Umayyah elah membuat beberapa kalangan tidak senang bahkan menuduhnya telah jauh dari ajaran Islam. Berbagai reaksi muncul, diantaranya dari kalangan yang tergolong ulama’. Sejak saat inilah dikenal kemudian istilah ulama’ yang dipandang berhak untuk mengurus masalah agama, misalnya menyangkut upaya pemahaman ajaran syari’ah yang terdapat di dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi. Sementara amir, sulthan, khalifah, dan yang semacamnya hanya dikenal sebagai penguasa yang bertanggung jawab atas masalah-masalah politik, negara, dan pemerintahan yang kemudian digolongkan pada umara’.
Perlu ditanamkan di dalam dada penduduk negara itu satu falsafah kehidupan yang luhur dan suci, satu ideologi yang menghidupkan semangat untuik giat berjuang untuk mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat ( pernyataan Muhammad Natsir ).
• Action
Nuansa ketegangan antara kekuasaan agama dan politik atau antara ulama’ dan umara’ semakin kompleks pada masa Abbasiyah. Pada masa itu terjadi pertarungan antara ulama’ dan umara’ untuk memperebutkan kekusaan menyangkut ajaran syari’ah.
Pada awal munculnya Abbasiyah, ada upaya keras untuk menyatukan kembali kedua kekusaan itu. Hal ini terlihat dari upaya-upaya yang dilakukan al-Mansur, al-Rasyid , dan al-Ma’mun.

Moral di kalangan Barat :
POLITIK berhubungan dengan kekuasaan. Dalam masa dahulu, apalagi Yunani kuno, politik mencakup semua soal yang berkaitan dengan masyarakat, termasuk pendidikan dan agama. Dengan terpilihnya bidang-bidang kehidupan di Barat, terutama dengan tumbuhnya pemikiran tentang negara sekuler di satu pihak dan negara agama di pihak lain, politik yang menguasai kehidupan di Barat terpisah dari soal dan ajaran agama. Perkembangan ini diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terpisah dari agama. Sebenarnya, agama yang dimaksudkan di sini adalah agama Kristen, karena memang pertentangan paham hidup di masa abad pertengahan Eropa itu adalah pertentangan antara akal (reason, rasio) dan gereja, antara raja dan gereja. Baik raja maupun gereja mengenal hirarki kekuasaan. Gereja dengan pendetanya yang berpuncak pada Paus, dan raja dengan menteri dan hulubalangnya. Gereja dan raja itulah yang memperebutkan kekuasaan.
• Persoalan moral dalam kalangan barat muncul pada abad modern ( abad ke-20, yang berkaitan dengan munculnya pemikiran- pemikiran barat ( modernisme pemikiran ) tentang adanya keyakinan-keyakinan beragama untuk memadukan gagasan-gagasan modern. Yang pada awalnya hal ini muncul bukan diasosiasikan dengan agama, bahkan Islam.
• Moral dalam hal ini dapat diartikan sebagai kesadaran internal, kebebasan ( freedom ), dan individualisme. Moral juga dapat diartikan sebagai segala tindakan yang diambil, diterapkan selama tindakan tersebut tidak bertentangan/ melanggar kebebasan orang lain.
• Moral ini cenderung terhadap pemikiran-pemikiran atau perubahan kepada era modern.
• David E. Apter menyebutkan ada 4 tahap modernisasi, yaitu :1. Modernisasi berawal dengan sedikit individu yang berani, rajin, dengan perasaan missi kuat atau keserakahan, atau kegairahan, atau hasrat untuk berpetualang. Mereka adalah pelopor. Pada tahap ini terdapat kontak antara penduduk ( dan minoritas ) dengan penduduk pribumi. ( tahap ini bisa dikatakan sebagai individualisme dan kesadaran internal sebagai respek ( menghormati ) sesama penduduk. 2. Tahap perkembangan kedua memperlihatkan efek kolonialisme. Elit-elit asing yang inovaif-pedagang, birokrasi, dan pemerintahan, agama dan pengabar injil- menciptakan pusat-pusat kota yang sebelumnya tidak ada, atau mengganti yang ada. 3. Ketika elit-elit baru muncul ( seringkali merupakan hasil perkawinan campuran antara orang-orang asing dan orang-orang pribumi ) assosiasi yang lebih kompleks dalam politik muncul. Elit-elit lokal menuntut partisipasi yang lebih besar dari orang-orang terdidik. 4. Tahap ini ditandai oleh pembangunan politik bukannya pembangunan ekonomi. ( tahap ke-2 sampai 4. Tahap ini bisa dikatakan sebagai kebebasan ( freedom ) terhadap moral ( respek; hormat ) dalam sebuah proses menuju modern.
3. Posisi kepemimpinan dalam sejarah politik Islam adalah;
Di dalam konsep (manhaj) Islam, pemimpin merupakan hal yang sangat final dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama’ah, pemimpin ibarat kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapannya dalam memimpin akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan kesejahteraan ummat dengan iringan ridho Allah

a. Sebagai yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah daripada yang mungkar.
b. Untuk menciptakan tercapainya hidup yang sempurna. Dalam rangka tercapainya posisi kepemimpinan, secara normatif al-Quran telah menggariskan sejumlah prinsip, dan yang pertama sekaligus utama adalah ajaran tauhid yang menetapkan pentingnya prinsip kesatuan.
c. Menegakkan prinsip antara warga Negara dan Pemimpin, yaitu Sebagai Penegak ajaran Allah ( syari’ah ), dan mereka yang berpaling darinya akan mendapat hukuman.

Keperluan akan pemimpin dalam sejarah politik Islam;
a. Pemimpin sangat diperlukan dalam mengatur sebuah negara, apabila tidak adanya pemimpin, maka tidak akan tercapainya atau berjalannya hukum Allah, segala hal yang ma’ruf, pencegahan yang mungkar. Karena tujuan dasar adanya pemimpin adalah untuk tercapainya kebahagian hidup yang sempurna.
b. Di dalam sebuah negara, pemimpin diwajibkan untuk bertanggung jawab atas segala kebijakan dan perbuatannya dan juga harus bisa dikoreksi secara transparan.
c. Hanyasanya pemimpin yang diperlukan itu harus memenuhi ketentuan kualitas seorang pemimpin yang ditentukan oleh al-Qur’an.
d. Perlu juga ditegaskan bahwa sekali pucuk pimpinan tersebut terpilih maka dituntut keta’atan dari seluruh rakyat melalui sistem Bay’ah, dalam Islam pengakuan seluruh umat paling tidak mayoritas mereka, amat penting sebagai sebuah legitimasi dari seorang pemimpin. Dengan legitimasi ini maka terjadi satu kesatuan antara pemimpin dengan rakyat, dan hal ini bekal terpenting dalam menghadapi semua persoalan dalam segala kondisi.

Keperluan akan pemimpin dalam sejarah politik islam banyak menimbulkan pemikiran-pemikiran politik diantaranya, yaitu :
a. Pemikiran politik Sunni dan Syiah
• Pemikiran politik Sunni, yaitu :
Mengatur cara penetapan khalifah dan dasar-dasar untuk memecat kekuasaannya. Dalam masalah penetapan khalifah ini, didasarkan pada empat prinsip umum; 1. Berdasarkan keutamaan keturunan, Khalifah atau Imam harus dari keturunan Quraisy. 2. Bay’at sebagai syarat yang disepakati oleh mayoritas umat Islam dalam pemilihan Kepala Negara yang dilakukan oleh ahl al-hall wal al-‘aqd. 3. Prinsip Syura ( musyawarah/ konsultasi ), yakni pemilihan khalifah melalui musyawarah atau konsultasi. 4. Prinsip keadilan.
Keharusan adanya kepala negara dan pemerintahan itu sendiri guna mencegah kekacauan dan keinginan untuk menjalankan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Sahnya jabatan khalifah dapat diwujudkan dengan dua cara, yaitu;
1. dengan cara dipilih oleh ahl al-hall wal al-aqdi
2. dengan menyerahkan mandat dari kepala Negara sebelumnya.

• Pemikiran politik Syiah, yaitu :
Imamah harus secara langsung jatuh ketangan Ali bin Abi Thalib menantu Nabi dan harus tetap demikian dari generasi ke generasi menurut garis keluarga Ali.

b. Pemikiran politik khawarij dan Mu’tazillah
• Pemikiran politik khawarij
1. Menetapkan seorang Imam adalah wajib
2. Pemilihan umum diserahkan kepada ummat
3. Imam tidak sah apabila tidak dengan pemilihan ummat
4. Ummat dapat memilih pemimpin baik dari suku Quraisy maupun ‘ajam.

• Pemikiran politik Mu’tazillah
1. Imam bisa berlaku bagi suku Quraisy
2. Imamah merupakan pilihan rakyat
3. Apabila sudah tentram masyarakat, keadilan sudah betul-betul merata serta sudah tidak ada lagi ancaman terhadap jiwa, harta benda, dan kehormatan, maka Imam tidak wajib lagi untuk dipilih.

c. Pemikiran politik al-Ghazali dan Ibnu Khaldun
• Pemikiran politik al-Ghazali
1. Khalifah adalah pelindung pelaksanaan syari’at
2. Khalifah harus menguasai teori-teori politik dan harus faqih dan kompetensi
3. Pemerintah yang Syar’I itu harus ada
4. Pemimpin itu harus adil, tidak zalim, tidak nepotis, melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminal.

• Pemikiran politik Ibnu Khaldun
1. Munculnya negara karena adanya makhluk sosial yang saling membutuhkan.
2. Tanpa negara yang terorganisir dengan baik, maka kehidupan manusia belum lengkap.
3. menggabungkan konsep sosiologis dan agama dalam membangun negara.
4. seorang pemimpin harus mempunyai kelebihan.
5. Khalifah adalah sebagai penegak agama dan mengatur soal duniawi.

d. Pemikiran politik Ibnu Abi Rabi’ dan Al-Farabi
• Pemikiran politik Ibnu Abi Rabi’;
1. Proses terbentuknya negara dikarenakan bantuan makhluk sosial
2. bentuk pemerintahan monarki/ kerajaan
3. pemilihan secara turun-temurun.

• Pemikiran politik Al-Farabi:
1. Untuk terbentuknya kota utama, maka harus membentuk kota demokratis yang memiliki kebaikan dan keburukan yang berjalan beriringan.
2. Pemerintahan demokratis.
3. ada beberapa negara yaitu, negara Utama, negara bodoh, negara rusak, negara merosot, dan negara jahat.
4. berfokus kepada masyarakat sempurna kecil yaitu masyarakat kota atau negara kota yang mana kesatuan politiknya menempati urutan yang terbaik daripada negara bangsa ( masyarakat sempurna besar ).

e. Pemikiran politik Al- Mawardi dan Ibnu Taimiyah
• Pemikiran politik Al- Mawardi
1. Kepala negara merupakan lingkup garapan Khalifah kenabian di dalam memelihara agama dan mengatur dunia dan mengesahkannya.
2. Khalifah harus berbangsa arab dari suku Quraisy dan begitu juga pembantunya. Karena mempunyai kemampuan yang yang luar biasa.
3. Imam adalah raja, Presiden, Sulthan.
4. Imam sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara.
5. adanya Negara karena kontrak sosial.
6. tanpa pemimpin akan terjadi suasana chaos.
7. Imam harus memenuhi syarat adil dengan universal, berilmu untuk berijtihad, sehat indrawi dan sehat organ tubuh, berwawasan luas, berani dan ksatria.
• Pemikiran politik Ibnu Taimiyah
1. Model Negara boleh apa saja, asalkan bisa merealisasikan tujuan-tujuan sebuah negara, yaitu kemaslahatan umat, menciptakan keadilan dan menegakkan syari’at Islam.
2. memberi peluang adanya pluralisme dalam dunia Islam.
3. Umat Islam tidak harus mempunyai seorang Khalifah, tetapi dibolehkan adanya beberapa Khalifah dan beberapa Negara yang menjadi daerah kekuasaan masing-masing khalifah itu.
Dari pemikiran-pemikiran politik yang tersebut diatas, tidak ada satupun yang mengatakan tidak perlunya seorang pemimpin, bahkan dari semua pemikiran tersebut semuanya menjelaskan katagori-katagori seorang pemimpin. Dalam hal ini jelas bahwa dalam sejarah politik Islam, adanya keperluan akan pemimpin dalam sebuah negara.


0 komentar:

Post a Comment