Wednesday 28 July 2010

NAMA : MUKSALMINA
NIM : 140 707 615
MK : HUKUM ACARA PIDANA ISLAM
Dosen : Drs. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA



AL-QUR’AN : SUMBER HUKUM ISLAM




PENGERTIAN


Al-Qur’an berasal dari asal kata qura’a artinya, telah membaca. Al-quran adalah kumpulan wahyu ( kata-kata ) Allah yang disampaikan kepada Muhammad saw. Dengan perantaan Malaikat JIbril selama Muhammad menjadi Rasul.
Al-Syaukani menyatakan bahwa, al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada RasulNya Muhammad bin Abdullah, dalam bahasa arab dan maknanya murni, yang sampai pada kita secara mutawatir. Rangkaian kalam allah tersebut kini telah tertuang secara sempurna dalam sebuah kitab suci yang diberikan nama Al-Quran al-Karim, yang secara keseluruhan berisikan ajaran-ajaran akidah, syari’ah, serta norma-norma akhlaq bagi ummat manusia ini.
Qara’a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun dan Qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata suatu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapi.
Menurut istilah ushul fiqh sebagaimana dikemukakan Abdul Wahhab Khallaf :
“ Al-quran adalah kalam Allah yang diturunkanNya dengan perantaraan malaikat Jibril ke dalam hati Muhammad ibn Abdullah dengan bahasa Arab dan makna-maknanya benar supaya menjadi aturan bagi manusia yang menjadikannya sebagai petunjuk, dipandang beribadah membacanya, diawali dengan surah Al-fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir baik secara tertulis maupun hafalan dari generasi ke generasi dan terpelihara dari segala perubahan, sejalan dengan kebenaran jaminan Allah swt.
Alquran berisi perintah dan larangan, ayat yang pertama turun adalah di Gua Hira pada permulaan Muhammad diangkat menjadi Rasul dengan Surah Al-‘Alaq. Sedangkan ayat yang terakhir turun adalah Surah Al-Ma’idah ayat 3 menyebutkan :

            .....

“…pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…”



pendapat Beberapa Orientalis Barat tentang Al-quran

1. J.W Goethe 1749- 1832

Seorang filosof jerman, Al-quran ini akan berjalan terus mendahului tiap zaman dan sangat berpengaruh.



2. Prof. Ludolfkreh, seorang biografer jerman
Alquran itu memberikan peraturan yang lengkap tentang susunan agama dan peradaban manusia dan hukum. Alquran juga berisi soal-soal pemerintahan dan keadilan, organisasi militer, hukum perang, sosial, fakir miskin, hukum perburuhan. Semua ini berkisar kepada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Prof. G. Margliouth
Alquran itu menempati kedudukan yang penting di dalam golongan agama yang besar di dunia dan membawa peradaban yang belum pernah dihasilkan oleh yang lain, yakni peradaban yang tinggi dan perubahan hidup manusia. Al-quran yang menggerakkan bangsa Arab dari yang gelap gulita menjadi suatu bangsa yang gagah berani serta membawa Islam kepada suatu bangsa yang maju dan beradab.

4. Suatu keputusan diambil dalam suatu seminar Week of Islamic Law 1951 di paris, yang dipimpin oleh Prof. Milliot dari Universitas Paris dan dimasukkan oleh UNESCO no. Kode 5606.01. islamic Law mengandung ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengagumkan serta tidak diragukan keasliannya.



AL-QURAN SEBAGAI SUMBER HUKUM


Al-quran adalah sumber hukum Islam pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah hukum fundamental ( asasi ) yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut.
Para ulama dan semua umat sepakat menjadikan al-Quran sebagai sumber pertama dan utama bagi syariat Islam, termasuk dalam hukum Islam. Atas dasar ini seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum harus lebih dahulu mencari rujukan kepada al-Quran. Apabila tidak ditemukan dalam al-Quran barulah ia dibenarkan menggunakan dalil-dalil lain.
Penerimaan ulama dan semua umat Islam menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum pertama dilatarbelakangi sejumlah alasan, diantaranya:

1. Keberadaan al-Quran yang diakui secara mutawatir berasal dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Melalui perantaraan Jibril. Hal ini menimbulkan keyakinan kuat kepada umat akan kebenaran al-Quran sebagai petunjuk yang diturunkan Allah kepada manusia sehingga pantas dijadikan sebagai sumber Syariat Islam.
2. Informasi al-Quran sendiri yang menjelaskan bahwa ia berasal dari Allah, diantaranya surah an-Nisa’ ayat 105 ;
       ••       
 

“ Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat..”


3. Kemukjizatan al-Quran sebagai bukti bahwa bukan berasal dari bantuan manusia, tetapi berasal dari Allah. Mukjizat berarti sesuatu yang dapat melemahkan, sehingga orang lain tidak dapat berbuat yang sama atau melebihi. Bentuk kemukjizatan ini dapat diamati dari keindahan bahasanya yang tidak mungkin dapat ditandingi ahli bahasa manapun.

Realitas ini, didukung lagi dengan kebenaran al-Quran dalam pemberitaan tentang hal-hal yang gaib, seperti dalam surat Yunus ayat 92 yang menjelaskan bahwa badan Fir’aun yang ditenggelamkan Allah dilaut merah diselamatkan Allah sebagai Pelajaran bagi generasi sesudahnya. Ini dibuktikan ahli purbakala Loret yang pada tahun 1896 menemukan sebuah mumi Fir’aun bernama Maniptah yang mengejar Musa dan ditenggelamkan Allah di laut merah .




HUKUM YANG TERKANDUNG DALAM AL-QUR’AN


Hukum- hukum yang terkandung dalam al-Quran secara garis besar dapat dikelompokkan kepada tiga hal, yaitu :
1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah keyakinan atau akidah, seperti masalah keimanan kepada Allah, masalah kenabian, kitab suci, malaikat, hari kemudian dan takdir serta hal-hal yang berhubungan dengan doktrin akidah. Hukum-hukum ini menjadi lapangan kajian ilmu tauhid atau ushuluddin.
2. Hukum-hukum yang mengatur antara hubungan sesama manusia, mengenai berbagai sifat utama yang harus menjadi perhiasan diri seseorang dan menjauhkan diri dari berbagai sifat yang membawa kepada kehinaan. Hukum-hukum yang terkait dengan hal-hal ini merupakan ruang lingkup kajian ilmu akhlak.
3. Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan hukum tentang tingkah laku manusia dalam hubungan dengan Allah dan dalam hubungannya dengan sesama manusia. Hukum-hukum ini dikaji dan dikembangkan dalam disiplin ilmu syariah. Dari hukum-hukum ini berkembangnya ilmu fiqih.

Sementara dari segi rinci dan tidaknya huukm yang terdapat dalam al-Quran, Abu Zahrah membaginya kepada beberapa macam , yaitu :
1. Ibadah
Ayat-ayat hukum yang berkaitan dengan ibadah diungkapkan dalam al-Quran secara mujmal ( global ) tanpa merinci tata cara pelaksanaannya(kaifiatnya). Misalnya, perintah melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji dan sedekah. Kewajiban shalat dijelaskan dalam al-Quran, tetapi tidak dijelaskan mengenai rukun, syarat, waktu dan tata cara pelaksanaannya.

2. Kaffarat
Kaffarat merupakan bagian dari ibadah karena ia semacam denda terhadap perbuatan dosa ( kesalahan ) yang dilakukan seseorang. Dalam al-Quran dijelaskan tiga macam kaffarat, yaitu :
a. Kaffarat zihar, yaitu suatu denda yang diberikan kepada suami karena perkataan yang diucapkan kepada isteri semisal: “ engkau bagiku bagaikan punggung ibuku”.
b. Kaffarat sumpah, yaitu suatu denda yang dikenakan kepada seseorang karena melanggar sumpah. Denda tersebut berupa pemberian makan 10 orang miskin atau pakaian mereka, atau memerdekakan hamba sahaya.
c. Kaffarat karena membunuh orang mukmin secara tersalah orang yang melakukan pembunuhan betuk ini diwaajibkan membayar diyat ( denda ) dan kaffarat dengan memerdekakan hamba sahaya, dan jika tidak didapati, maka puasa dua bulan berturut-turut.

3. Hukum Muamalat
Al-Quran hanya menjelaskan hukum ini dalam bentuk prinsip-prinsip dasar. Diantaranya prinsip-prinsip itu, larangan memakan harta orang lain secara batil ( salah ) dan keharusan perolehan harta dengan suka sama suka. Disamping itu, larangan berlaku zalim dan memakan harta melalui cara yang mengandung unsur riba.
Sementara hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah muamalat, jinayah, hukum acara, ketatanegaraan, internasional, ekonomi dan keuangan hanya dijelaskan al-Quran dalam bentuk prinsip-prinsip dasar dan umum.



DALALAH AL-QURAN TENTANG HUKUM-HUKUM


Semua umat Islam mengakui bahwa al-Quran diturunkan secara mutawatir, sehingga dari sisi ini al-Quran disebut qath’I al-tsubut. Namun, dari sisi dalalah al-Quran tentang hukum tidak semuanya bersifat qath’i, tetapi ada bersifat zanni.
Cukup banyak ayat-ayat qath’i dalam al-Quran. Pengertian qath’i ini pula yang banyak diuraikan dalam kitab-kitab ushul fiqh, seperti yang dijelaskan Wahbah al-Zuhaily berikut:

“ Nash qath’I dalalah ialah yang terdapat di dalam al-Qur’an yang dapat dipahami dengan jelas dan mengandung makna tunggal.”

Definisi qath’I ini menggambarkan suatu ayat disebut qath’I manakala dari lafal ayat tersebut hanya dapat dipahami makna tunggal sehingga tidak mungkin dipahami darinya makna lain selain yang ditunjukkan lafal itu. Dalam hal ini takwil tidak berlaku.
Diantara ayat-ayat al-Quran yang termasuk dalam katagori qath’I dalalah ialah ayat-ayat tentang ushul al-syariah yang merupakan ajaran-ajaran pokok agama Islam, seperti shalat, zakat dan haji, perintah menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, menegakkan keadilan dan kewajiban mensucikan diri dari hadas. Disamping itu, termasuk kelompok qath’I adalah ayat yang berbicara tentang akidah, akhlak, dan sebagai masalah muamalat.
Penempatan ayat-ayat ini dalam katagori qath’I dalalah dilatar belakangi ajaran-ajaran yang dikandung ayat tersebut termasuk pokok-pokok agama ( esensial ) yang bersifat tsawabith ( tetap ) dan tidak bersifat mutaghaiyyirat ( berubah ) karena perubahan zaman. Andaikata ayat-ayat ini termasuk katagori zanni yang menjadi objek ijtihad tentu akan muncul ketidakstabilan dalam agama dan sangat mungkin mengalami perubahan-perubahan. Dalam sejarah hukum Islam, tidak pernah muncul mazhab fikih karena ayat-ayat qath’I, tetapi yang ada dalam ayat-ayat zanni.
Menurut syatibi maqasyid al-Syari’ dalam menetapkan syari’ah yang meliputi dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat didasarkan kepada dalil-dalil qath’I karena ketiganya merupakan ushul al-syari’ah, dan bahkan ia adalah ushul ushu al-syari’ah. Logikanya, bila ushul al-syariah ditetapkan dengan dalil qath’I, maka ushul ushu al-syari’ah lebih utama ditetapkan dengan dalil qath’i.

0 komentar:

Post a Comment