This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday 30 July 2010

Bubur Kanji * Buatan Sendiri *

melihat foto ini, mengingat diriku pada suatu malam sekitar jam 01.30 * pagi Wib *..
dikarenakan pengen makan bubur kanji, tapi mana ada yang jual bubur kanji jam segini, apalagi di kampung,,maka timbullah suatu pikiran dalam hati diriku untuk membuat sendiri bubur kanji, serasa mau meninggal kalau tidak makan bubur kanji malam itu * begitu pengennya *..dengan tekat yang bulat, diriku langsung ke dapur mengambil belaga aluminium dan kompor..tiba-tiba terdiam sejenak * bingung, dan ga tau apa yang mau diriku perbuat *. ohh...ternyata diriku ga tau betul komposisi_a apa-apa saja, yachh..terpaksa diriku bangunin mamak untuk membantu masak bubur kanji * maksudnya kasih tau komposisi_a saja, tapi mamak ga tega melihat diriku sendirian di dapur, akhirnya ditemanin juga sampe masak *...he.he.he.e.
* 1 jam kemudian * akhirnya bubur kanji siap saji, tapi terasa ga enak kalau hanya melahap sendiri, yaaa..akhirnya diriku bangunin semua keluarga dirumah untuk menikmati nikmatnya masakan bubur kanji diriku...* ada muka tak mood karena tengah2 malam dibangunin hanya untuk makan bubur kanji, tapi ada juga yang seperti dalam mimpi makannya, antara tidur dengan ga_a..he.he.he.he..*
* intinya *...kalau suatu keinginan yang benar-benar kita inginkan, maka tidak akan ngaruh dengan waktu, kapan saja siap selalu untuk menghadapinya..* yang penting bikin Happy dech...he.he.he.he*

Waktu


Banyak banget makna dari gambar ini,,,!!

Dari satu sisi, menunjukkan suatu waktu yang telah kami janjikan dulunya...
Apakah waktu itu akan menjawab untuk kami nanti dengan jawaban yang penuh dengan cita-cita dan niat yang begitu baik...
Sebuah perjanjian yang belum pernah terjadi* di dalam diriku * selama diriku hidup di dunia yang fana ini..

Dari sisi yang lain..jam ini merupakan suatu simbol bahwa kami harus menunggu dan menjalani sebuah perjuangan dengan berfokus pada waktu..detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan..kami jalani dengan penuh semangat dan tanpa suatu keraguan..
Jam ini menunjukkan suatu isyarat hati yang setidaknya mengatakan pada diriku untuk menunggu beberapa saat * dalam suatu proses perjalanan untuk sebuah persiapan yang matang dari segala segi *..
yaa..sejujurnya, diriku Insya Allah akan siap menunggu kapan suatu proses waktu yang tepat untuk menjalani sebuah kebahagian dalam suatu kehidupan.
Setidaknya jika suatu alasan untuk memperdalamkan * memperbanyak ilmu dulu, untuk suatu persiapan * , maka bila nanti udah siap dan matang untuk mendalami suatu ilmu yang terpenting dalam menjelajahi hidup ini..pada saat itulah nanti suatu kebahagian akan tercapai dalam hidup kita.
Semoga janji kita yang dulu Insya Allah terkabulkan nantinya...Amiin Ya Rabbal 'Alamin.

Kenangan dengan teman-teman di Mata ie

Aktivitas Anak Pedesaan Diwaktu Kemarau

Wednesday 28 July 2010

NAMA : MUKSALMINA
NIM : 140 707 615
MK : HUKUM ACARA PIDANA ISLAM
Dosen : Drs. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA



AL-QUR’AN : SUMBER HUKUM ISLAM




PENGERTIAN


Al-Qur’an berasal dari asal kata qura’a artinya, telah membaca. Al-quran adalah kumpulan wahyu ( kata-kata ) Allah yang disampaikan kepada Muhammad saw. Dengan perantaan Malaikat JIbril selama Muhammad menjadi Rasul.
Al-Syaukani menyatakan bahwa, al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada RasulNya Muhammad bin Abdullah, dalam bahasa arab dan maknanya murni, yang sampai pada kita secara mutawatir. Rangkaian kalam allah tersebut kini telah tertuang secara sempurna dalam sebuah kitab suci yang diberikan nama Al-Quran al-Karim, yang secara keseluruhan berisikan ajaran-ajaran akidah, syari’ah, serta norma-norma akhlaq bagi ummat manusia ini.
Qara’a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun dan Qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata suatu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapi.
Menurut istilah ushul fiqh sebagaimana dikemukakan Abdul Wahhab Khallaf :
“ Al-quran adalah kalam Allah yang diturunkanNya dengan perantaraan malaikat Jibril ke dalam hati Muhammad ibn Abdullah dengan bahasa Arab dan makna-maknanya benar supaya menjadi aturan bagi manusia yang menjadikannya sebagai petunjuk, dipandang beribadah membacanya, diawali dengan surah Al-fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir baik secara tertulis maupun hafalan dari generasi ke generasi dan terpelihara dari segala perubahan, sejalan dengan kebenaran jaminan Allah swt.
Alquran berisi perintah dan larangan, ayat yang pertama turun adalah di Gua Hira pada permulaan Muhammad diangkat menjadi Rasul dengan Surah Al-‘Alaq. Sedangkan ayat yang terakhir turun adalah Surah Al-Ma’idah ayat 3 menyebutkan :

            .....

“…pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…”



pendapat Beberapa Orientalis Barat tentang Al-quran

1. J.W Goethe 1749- 1832

Seorang filosof jerman, Al-quran ini akan berjalan terus mendahului tiap zaman dan sangat berpengaruh.



2. Prof. Ludolfkreh, seorang biografer jerman
Alquran itu memberikan peraturan yang lengkap tentang susunan agama dan peradaban manusia dan hukum. Alquran juga berisi soal-soal pemerintahan dan keadilan, organisasi militer, hukum perang, sosial, fakir miskin, hukum perburuhan. Semua ini berkisar kepada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Prof. G. Margliouth
Alquran itu menempati kedudukan yang penting di dalam golongan agama yang besar di dunia dan membawa peradaban yang belum pernah dihasilkan oleh yang lain, yakni peradaban yang tinggi dan perubahan hidup manusia. Al-quran yang menggerakkan bangsa Arab dari yang gelap gulita menjadi suatu bangsa yang gagah berani serta membawa Islam kepada suatu bangsa yang maju dan beradab.

4. Suatu keputusan diambil dalam suatu seminar Week of Islamic Law 1951 di paris, yang dipimpin oleh Prof. Milliot dari Universitas Paris dan dimasukkan oleh UNESCO no. Kode 5606.01. islamic Law mengandung ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengagumkan serta tidak diragukan keasliannya.



AL-QURAN SEBAGAI SUMBER HUKUM


Al-quran adalah sumber hukum Islam pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah hukum fundamental ( asasi ) yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut.
Para ulama dan semua umat sepakat menjadikan al-Quran sebagai sumber pertama dan utama bagi syariat Islam, termasuk dalam hukum Islam. Atas dasar ini seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum harus lebih dahulu mencari rujukan kepada al-Quran. Apabila tidak ditemukan dalam al-Quran barulah ia dibenarkan menggunakan dalil-dalil lain.
Penerimaan ulama dan semua umat Islam menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum pertama dilatarbelakangi sejumlah alasan, diantaranya:

1. Keberadaan al-Quran yang diakui secara mutawatir berasal dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Melalui perantaraan Jibril. Hal ini menimbulkan keyakinan kuat kepada umat akan kebenaran al-Quran sebagai petunjuk yang diturunkan Allah kepada manusia sehingga pantas dijadikan sebagai sumber Syariat Islam.
2. Informasi al-Quran sendiri yang menjelaskan bahwa ia berasal dari Allah, diantaranya surah an-Nisa’ ayat 105 ;
       ••       
 

“ Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat..”


3. Kemukjizatan al-Quran sebagai bukti bahwa bukan berasal dari bantuan manusia, tetapi berasal dari Allah. Mukjizat berarti sesuatu yang dapat melemahkan, sehingga orang lain tidak dapat berbuat yang sama atau melebihi. Bentuk kemukjizatan ini dapat diamati dari keindahan bahasanya yang tidak mungkin dapat ditandingi ahli bahasa manapun.

Realitas ini, didukung lagi dengan kebenaran al-Quran dalam pemberitaan tentang hal-hal yang gaib, seperti dalam surat Yunus ayat 92 yang menjelaskan bahwa badan Fir’aun yang ditenggelamkan Allah dilaut merah diselamatkan Allah sebagai Pelajaran bagi generasi sesudahnya. Ini dibuktikan ahli purbakala Loret yang pada tahun 1896 menemukan sebuah mumi Fir’aun bernama Maniptah yang mengejar Musa dan ditenggelamkan Allah di laut merah .




HUKUM YANG TERKANDUNG DALAM AL-QUR’AN


Hukum- hukum yang terkandung dalam al-Quran secara garis besar dapat dikelompokkan kepada tiga hal, yaitu :
1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah keyakinan atau akidah, seperti masalah keimanan kepada Allah, masalah kenabian, kitab suci, malaikat, hari kemudian dan takdir serta hal-hal yang berhubungan dengan doktrin akidah. Hukum-hukum ini menjadi lapangan kajian ilmu tauhid atau ushuluddin.
2. Hukum-hukum yang mengatur antara hubungan sesama manusia, mengenai berbagai sifat utama yang harus menjadi perhiasan diri seseorang dan menjauhkan diri dari berbagai sifat yang membawa kepada kehinaan. Hukum-hukum yang terkait dengan hal-hal ini merupakan ruang lingkup kajian ilmu akhlak.
3. Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan hukum tentang tingkah laku manusia dalam hubungan dengan Allah dan dalam hubungannya dengan sesama manusia. Hukum-hukum ini dikaji dan dikembangkan dalam disiplin ilmu syariah. Dari hukum-hukum ini berkembangnya ilmu fiqih.

Sementara dari segi rinci dan tidaknya huukm yang terdapat dalam al-Quran, Abu Zahrah membaginya kepada beberapa macam , yaitu :
1. Ibadah
Ayat-ayat hukum yang berkaitan dengan ibadah diungkapkan dalam al-Quran secara mujmal ( global ) tanpa merinci tata cara pelaksanaannya(kaifiatnya). Misalnya, perintah melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji dan sedekah. Kewajiban shalat dijelaskan dalam al-Quran, tetapi tidak dijelaskan mengenai rukun, syarat, waktu dan tata cara pelaksanaannya.

2. Kaffarat
Kaffarat merupakan bagian dari ibadah karena ia semacam denda terhadap perbuatan dosa ( kesalahan ) yang dilakukan seseorang. Dalam al-Quran dijelaskan tiga macam kaffarat, yaitu :
a. Kaffarat zihar, yaitu suatu denda yang diberikan kepada suami karena perkataan yang diucapkan kepada isteri semisal: “ engkau bagiku bagaikan punggung ibuku”.
b. Kaffarat sumpah, yaitu suatu denda yang dikenakan kepada seseorang karena melanggar sumpah. Denda tersebut berupa pemberian makan 10 orang miskin atau pakaian mereka, atau memerdekakan hamba sahaya.
c. Kaffarat karena membunuh orang mukmin secara tersalah orang yang melakukan pembunuhan betuk ini diwaajibkan membayar diyat ( denda ) dan kaffarat dengan memerdekakan hamba sahaya, dan jika tidak didapati, maka puasa dua bulan berturut-turut.

3. Hukum Muamalat
Al-Quran hanya menjelaskan hukum ini dalam bentuk prinsip-prinsip dasar. Diantaranya prinsip-prinsip itu, larangan memakan harta orang lain secara batil ( salah ) dan keharusan perolehan harta dengan suka sama suka. Disamping itu, larangan berlaku zalim dan memakan harta melalui cara yang mengandung unsur riba.
Sementara hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah muamalat, jinayah, hukum acara, ketatanegaraan, internasional, ekonomi dan keuangan hanya dijelaskan al-Quran dalam bentuk prinsip-prinsip dasar dan umum.



DALALAH AL-QURAN TENTANG HUKUM-HUKUM


Semua umat Islam mengakui bahwa al-Quran diturunkan secara mutawatir, sehingga dari sisi ini al-Quran disebut qath’I al-tsubut. Namun, dari sisi dalalah al-Quran tentang hukum tidak semuanya bersifat qath’i, tetapi ada bersifat zanni.
Cukup banyak ayat-ayat qath’i dalam al-Quran. Pengertian qath’i ini pula yang banyak diuraikan dalam kitab-kitab ushul fiqh, seperti yang dijelaskan Wahbah al-Zuhaily berikut:

“ Nash qath’I dalalah ialah yang terdapat di dalam al-Qur’an yang dapat dipahami dengan jelas dan mengandung makna tunggal.”

Definisi qath’I ini menggambarkan suatu ayat disebut qath’I manakala dari lafal ayat tersebut hanya dapat dipahami makna tunggal sehingga tidak mungkin dipahami darinya makna lain selain yang ditunjukkan lafal itu. Dalam hal ini takwil tidak berlaku.
Diantara ayat-ayat al-Quran yang termasuk dalam katagori qath’I dalalah ialah ayat-ayat tentang ushul al-syariah yang merupakan ajaran-ajaran pokok agama Islam, seperti shalat, zakat dan haji, perintah menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, menegakkan keadilan dan kewajiban mensucikan diri dari hadas. Disamping itu, termasuk kelompok qath’I adalah ayat yang berbicara tentang akidah, akhlak, dan sebagai masalah muamalat.
Penempatan ayat-ayat ini dalam katagori qath’I dalalah dilatar belakangi ajaran-ajaran yang dikandung ayat tersebut termasuk pokok-pokok agama ( esensial ) yang bersifat tsawabith ( tetap ) dan tidak bersifat mutaghaiyyirat ( berubah ) karena perubahan zaman. Andaikata ayat-ayat ini termasuk katagori zanni yang menjadi objek ijtihad tentu akan muncul ketidakstabilan dalam agama dan sangat mungkin mengalami perubahan-perubahan. Dalam sejarah hukum Islam, tidak pernah muncul mazhab fikih karena ayat-ayat qath’I, tetapi yang ada dalam ayat-ayat zanni.
Menurut syatibi maqasyid al-Syari’ dalam menetapkan syari’ah yang meliputi dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat didasarkan kepada dalil-dalil qath’I karena ketiganya merupakan ushul al-syari’ah, dan bahkan ia adalah ushul ushu al-syari’ah. Logikanya, bila ushul al-syariah ditetapkan dengan dalil qath’I, maka ushul ushu al-syari’ah lebih utama ditetapkan dengan dalil qath’i.

PEMIKIRAN POLITIK HASAN AL-BANNA

DAN AL-IKHWAN AL-MUSLIMIN

Latar Belakang Historis

Selama abad sembilan belas, nasib baik politik dan ekonomi Mesir semakin erat terkait dengan Eropa. Selama awal 1800-an, mesir mengekspor kapas ke Eropa dalam jumlah besar, dan kapas pun akhirnya jadi hasil utama mesir. Untuk memudahkan tumbuhnya perdagangan antara Mesir dan Eropa, para investor asing mendukung berbagai proyek untuk mengembangkan infrastruktur komunikasi dan transportasi modern. Jalan kerata api, pelabuhan, kanal, telegram, dan bendungan dengan cepat dikembangkan. Proyek terpentingnya adalah pembangunan Terusan Suez, yang selesai pada 1869. Selain memodernisasikan ekonomi Mesir, berbagai proyek ini juga membuat Mesir banyak berutang kepada kreditor Eropa.

Penetrasi finansial dan perdagangan asing di mana-mana, dan kehadiran mereka semakin luas di Mesir, menyebabkan penguasa dan elite kaya negeri ini berperilaku dan beradat istiadat seperti orang Eropa. Dimensi kultural Imperialisme ini melukai kepekaan Mesir dan memupuk sentimen anti-Eropa serta keinginan untuk menyingkirkan pengaruh asing. Pada 1881, muncul suatu gerakan menentang dominasi politik, ekonomi dan budaya Eropa. Tetapi karena kelihatan mengancam investasi asing, gerakan ini mendorong Inggris melakukan invansi pada September 1882. Meski Inggris menyatakan akan pergi kalau kepentingan asing dilindungi, namun mereka tetap bercokol di bumi Mesir hingga abad kedua puluh.

Inggris melembagakan suatu sistem pemerintahan tidak langsung, dimana Residen Inggris dan penasehatnya bekerja dengan dinasti yang berdiri sebelumnya pada abad ini, namun tak pernah lepas dari kekuasaan ‘utsmaniah. Selama sebagian besar periode sebelum Perang Dunia pertama, Residen Inggris dan penguasa Mesir, yang dikenal dengan sebutan khedive atau raja muda, bekerja sama memerintahkan Mesir. Pada awal 1900-an, lahirlah sebuah gerakan nasionalis baru, dan menyerukan kemerdekaan Mesir. Ketika meletus Perang Dunia Pertama, gerakan nasionalis ini sudah sampai pada puncaknya, dan mulai merosot. Ketika emperium ‘Utsmaniah berperang melawan Inggris, Inggris secara resmi memisahkan Mesir dari ‘Utsmaniah dan menyatakan protektorat atas Mesir. Pada akhir perang, pada 1919, berdiri sebuah gerakan nasionalis popular untuk kemerdekaan Mesir. Hasan Al-Banna, yang baru berusia tiga belas tahun, ikut demontrasi menuntut kepergian Inggris. Inggris menghadapi badai protes nasionalis, dan akhirnya membuat pernyataan sepihak soal kemerdekaan Mesir ( dengan beberapa syarat ) pada 1922. Dengan demikian, iklim politik di seputar tahun-tahun awal kesadaran sosial Hasan Al-Banna ditandai dominasi asing dan perlawanan terhadap dominasi asing ini.

Inggris mendirikan rezim politik yang disiapkan untuk monarki konstitusional yang berparlemen, berpemilu, dan berpartai politik. Setelah itu berkembanglah perjuangan politik dikalangan istana raja, partai politik, dan Inggris. Perjuangan ini berpusat pada dua soal: memodifikasi batas-batas kemerdekaan Mesir, dan keseimbangan kekuasaan antara istana dan partai nasionalis, terutama partai paling berpengaruh pada waktu itu, Wafd, dan pemimpinnya yang popular Sa’ad Zaghlul. Pada 1920-an, perilaku ketiga unsur dalam perjuangan politik itu tak mempercayai sistem parlementer, ketika masing-masing melanggar semangat demokrasinya demi kepentingan sendiri. Akibatnya, pada 1930-an, banyak orang mesir menganggap sistem politik ini korup dan didominasi kepentingan pribadi.

Dominasi politik dan ekonomi Eropa disertai dominasi budaya terlihat pada kecenderungan elite Mesir untuk bergaya hidup Barat dan untuk memungut gagasan Barat, meski dengan mengorbankan keyakinan dan praktik tradisional Islam.

Pada 1920-an, elite politik dan intelektual Mesir lebih mendukung ideologi modernis sekular, ketimbang yang pernah terjadi sebelumnya. Gagasan politik dan kultural Eropa mewarnai halaman koran, majalah dan buku Mesir. Kairo dan Iskandariah mengembangkan lingkungan terbaratkan, di mana orang Mesir dapat bergaya hidup Eropa, seperti sering mengunjungi restoran, klub malam, bioskop, dan teater. Dalam konteks ini, penulis mesir menguraikan identitas nasional Mesir sekular yang mencari inspirasi dari warisan Fir’aun pra-Islam. Nasionalisme sekular Mesir ini menempatkan Islam hanya sebagai urusan suara hati dan ibadah pribadi yang terpisah dari kehidupan masyarakat. Orientasi kultural ini memuaskan elite urban berpendidikan, namun tidak relevan dengan kalau bukan menghina adat istiadat dan nilai kultural kebanyakan orang Mesir.

Kaum modernis sekular Mesir percaya bahwa kultur Eropa lebih unggul, dan berupaya mempromisikan unsur-unsur kultur itu. Kaum sekularis menganjurkan perubahan status wanita, seperti menyingkirkan hijab. Seakan serangan sekularis ini belum cukup menggusurkan dan mengkhawatirkan Muslim saleh, kehadiran misionaris Barat terus meningkat dan dipercaya, sehingga penulis misionaris blak-blakan mengkritik Islam, baik dalam kuliah maupun tulisannya. Seorang pengamat masyarakat Mesir selama 1920-an berkesimpulan bahwa pasang kultur sekular Barat akan segera menyapu bersih kultur Muslim Mesir.[1]

Hasan Al-Banna

Hasan Al-Banna Al-Imam Al-Syahid hasan bin Ahmad Abd. Al-Rahim Al-Banna ( yang dikenal Hasan Al-Banna ) dilahirkan pada tahun 1906 M di kota Mahmudiyah dekat kota Iskandariah.[2] Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ta’at beragama, berpendidikan, kaya, dan terhormat. Ayahnya Syekh Ahmad Abd AL-Rahman pernah belajar di Universitas AL-Azhar pada masa zaman Syekh Muhammad Abduh.

Hasan Al-Banna semenjak kecil telah mendapat didikan dari ayahnya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Ia dikarunia banyak kelebihan di usia dini. Ayahnya seorang ilmuwan yang mendalami ilmu hadist, sehingga kontribusinya di bidang ini mendapat penghargaan dari para ulama. Pada usia belasan tahun Hasan Al-Banna sudah menjadi anggota golongan sufi yaitu tasawuf Hassafiyah. Pada usia 16 tahun sudah merantau melanjutkan pendidikan ke propinsi al-Bukhairah ( Mesir ). Jenjang pendidikannya diawali dari Madrasah Diniyah al-Rasyad dengan seorang guru bernama Syekh Muhammad Zahran sekaligus pemilik madrasah tersebut. Di madrasah ini Hasan Al-Banna belajar hadist nabi dengan target menghafal dan memahaminya, insyak, qawa’id dan lain-lain. Selanjutnya, ia pindah ke madrasah Idadiyah dan Madrasah al-Muallimin al-Awwaliyah di Damanhur, kemudian melanjutkan ke Darul Ulum Mesir pada tahun 1923 M dalam usia 16 tahun.

Selama berada di kairo, ia sering mengunjungi toko buku dan mempelajari majalah al-Manar karya Rasyid Ridha. Ia sangat mengagumi pemikiran Rasyid Ridha terutama tentang keyakinannya akan sempurna Islam sebagai satu-satunya agama yang berisikan segala sistem yang dibutuhkan dalam kehidupan umat manusia.

Pada tahun 1927 dalam usia 21 tahun, ia telah menyelesaikan studinya dengan baik di Darul ulum. Sesudah itu, ia di angkat jadi seorang guru di Madrasah Ibtidaiyah di kota Ismailiah terusan suez dan dekat lokasi markas besar Suez Canal Company. Di sinilah ia melihat dengan jelas dominasi asing terhadap pribumi. Di samping sebagai guru di pagi hari ia juga berdakwah di sore hari dan begitu juga di waktu-waktu libur.[3]

Karya Hasan Al-Banna

Karya Hasan Al-Banna yang terbesar adalah mendirikan organisasi Ikhwan Al-Muslimin. Setelah ia berada di Mesir, ia melihat dan merasakan sendiri bagaimana pengaruh dari sekularisme yang melanda bangsa Mesir. Umat Islam pada waktu itu tidak lagi berkiblat ke Islam. Kebanyakan bangsa Mesir telah meninggalkan kulturnya dan bergaya hidup Barat. Akibatnya terjadi dekade moral dan kehancuran tatanan sosial. Para penjajah melakukan kerusakan yang bersifat ilmiah, ekonomi, kesehatan, moral dan seterusnya. Umat Islam pada waktu itu tidak mempunyai logika lain dalam memimpin dunia selain logika kemaslahatan materi, kekuasaan, dan penguasaan bahan-bahan mentah. Akibat sikap yang demikian, sebagian besar kaum muslimin seakan tercerabut dari akar budayanya, terutama kelas menengah dan kalangan elit politik. Islam pada saat itu tidak dipandang sebagai way of life, tetapi dipandang sebatas ajaran ritual-formalistik belaka.

Untuk mengantisipasi keadaan masyarakat di atas, ia mendirikan organisasi Ikhwan Al-Muslimin yang bergerak dalam bidang dakwah, tarbiyah, sosial, dan jihad. Organisasi ini berdiri atas dasar fikrah ( pemikiran ), maknawiyah ( moralitas ), dan amaliyah ( gerakan ).[4]

Pemikiran Politik Hasan Al-Banna

Hasan Al-Banna mengajukan manhaj dakwah yang menurutnya Islam itu sendiri. Pemikiran Hasan Al-Banna dan dakwahnya adalah Islam. Tidak ada unsur lain selain Islam. Dan dia tidak pernah mencampuradukkan Islam dengan unsur lain sedikitpun, berupa agama, aliran, atau kepercayaan selain Islam. Hasan Al-Banna tidak membawa agama baru atau pemikiran baru, namun yang ia bawa adalah apa yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.. Oleh karena itu, pemikiran Hasan Al-Banna menjadi istimewa dibandingkan pemikiran yang lain.

Hasan Al-Banna berpendapat, jika ada yang menyangka bahwa agama tidak berkaitan dengan politik atau bahwa politik bukan bagian dari sasaran agama, berarti orang itu telah menzalimi dirinya sendiri, dan menzalimi keilmuannya terhadap Islam. Dan kita tidak mengatakan bahwa dia menzalimi Islam, karena Islam adalah syari’at Allah yang tidak mengandung kebathilan dari dalamnya maupun dari belakangnya. Alangkah indahnya perkataan Imam AL-Ghazali r.a, “ ketahuilah, syari’ah adalah dasar, dan raja adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak mempunyai dasar akan runtuh, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya akan hilang. Daulah Islam tidak akan berdiri kecuali berdasarkan asas dakwah, sehingga dia menjadi agama risalah, bukan sekadar urusan administrasi, dan tidak menjadi pemerintahan yang material, beku dan tuli, yang tidak mempunyai ruh. Dan dakwah Islam pun tidak berdiri kecuali dibawah naungan penjagaan negara, bantuan dan kekuatannya.”[5]

Hasan Al-Banna dan pembaru Muslim sebelumnya seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh, percaya bahwa kelemahan dan kerentanan Muslim terhadap dominasi Eropa disebabkan oleh penyimpangan kaum muslim dari Islam ‘ sejati ‘. Untuk membangkitkan Mesir, kaum muslim harus bertekad untuk kembali memahami dan hidup menurut Islam seperti dicontohkan generasi-generasi pertama muslim ( salaf ). Negara Islam pada masa Nabi Muhammad dan Khalifah Rasyidun menunjukkan perwujudan suatu tatanan Islam komprehensif yang konkret historis. Dibawah penguasa selanjutnya, dunia Muslim jadi semakin lemah. Beberapa faktor penyebabnya adalah perebutan kekuasaan, perpecahan akibat soal-soal sekunder, kemewahan penguasa, pemerintahan oleh non-arab seperti Turki dan Persia yang tidak pernah tahu Islam sejati, kurangnya minat pada ilmu-ilmu praktis, dan taklit buta pada otoritas.

Subordinasi politik dunia Muslim membuat mereka rentan terhadap pengaruh budaya Eropa. Hasan Al-Banna percaya bahwa peradaban Eropa terdiri atas ateisme, ketidakbermoralan, egoisme individu dan kelas, serta riba. Dia menyebut budaya Eropa sebagai budaya materialistis yang mengutangi kaum Muslim agar dapat mengendalikan ekonomi Muslim. Kejahatan Eropa yang diimpor ke Mesir, antara lain minuman keras, ruang dansa, dan pakaian wanita ala Barat. Eropa mendirikan sekolah-sekolah yang menanamkan pujian berlebihan kepada Barat di kalangan elite Muslim, dan melukiskan Islam tidak sempurna.[6]

Tulisan Hasan Al-Banna mengenai agama dan politik, mencerminkan transisi dari penekanan pembaru islam sebelumnya bahwa Islam dan politik tidak dapat dipisahkan, ke penguraian lebih terinci mengenai fungsi negara Islam dan prinsip dasarnya. Hidup di era ketika pemerintahan konstitusional, parlemen, dan pemilu mendapat dukungan dari kaum Muslim berwawasan politik di Mesir dan di lain tempat. Hasan Al-Banna menegaskan bahwa prinsip Islam dapat diterapkan pada keyakinan yang banyak dianut dalam soal politik dan lembaga politik. Dia menulis bahwa Islam memerlukan suatu pemerintah yang mencegah anarki, namun tidak menetapkan bentuk pemerintahan tertentu. Islam hanya meletakkan tiga prinsip pokok. Pertama, penguasa bertangggung jawab kepada Allah dan rakyat, bahkan dianggap sebagai abdi rakyat. Kedua, bangsa Muslim harus bertindak secara bersatu, karena persaudaraan Muslim merupakan prinsip iman. Ketiga, bangsa Muslim berhak memonitor tindakan penguasa, nasehat penguasa dan mengupayakan agar kehendak bangsa dihormati. Karena ketiganya merupakan prinsip yang sangat luas, maka negara Islam bisa memilih banyak bentuk termasuk demokrasi parlementer konstitusional. Sebagai tujuan yang panjang Hasan Al-Banna menyerukan dihidupkannya kembali kekhalifahan. Dia berkata bahwa tugas ini memerlukan kerja sama penuh kaum muslim melalui berbagai fakta, persekutuan dan pada puncuknya Liga Bangsa- Bangsa Islam.

Hasan Al-Banna menolak peranan sistem multipartai di negara Islam. Dia mengatakan bahwa sistem parlementer bisa memiliki satu, dua, atau beberapa partai. Pengalaman Mesir menunjukkan bahwa sistem mutipartai melanggar nilai fundamental Islam seperti kesatuan nasional, dengan cara menaburkan benih perpecahan. Hasan Al-Banna memang memandang partai-partai politik Mesir sebagai faksi-faksi yang dasar pada perbedaan dikalangan figur terkemuka. Dia menyerukan agar semua partai dibubarkan dan agar dibentuk satu partai untuk mempersatukan bangsa, untuk memerdekakan bangsa, dan untuk mengupayakan pembaruan internal.

Pemilu dapat menjamin kehendak bangsa. Namun sistem pemilu Mesir perlu diperbaharui. Pemilu langsung di bawah hukum 1923, dan pemilu dua-tahap pada 1930, telah gagal memilih orang yang tepat. Pemilu ini justru memilih kelompok yang tidak representatif dari elite Mesir. Untuk menyelesaikan persoalan ini, Hasan Al-Banna mengusulkan agar hukum pemilu yang baru menegaskan persyaratan untuk calon yang akan dipilih. Dia ingin agar yang jadi calon hanya orang yang ahli hukum agama dan urusan publik, dan hanya memimpin ‘alamiah’ masyarakat: kepala suku, keluarga, dan organisasi. Hasan Al-Banna juga ingin membatasi kampanye pemilu, khususnya melarang serangan terhadap pribadi.

Hasan Al-Banna menyesuaikan visi negara Islamnya dengan sistem politik yang ada di Mesir. Keinginannya menghindari konfrontasi dengan negara, membuatnya cenderung menyatakan pandangannya secara umum. Keengganannya menyebutkan isi khas visi negara Islamnya, membuat Hasan Al-Banna menguraikannya secara berbeda untuk waktu yang berbeda. Kadang dia menulis bahwa pemerintah baru bisa disebut Islam kalau para anggotanya yang muslim menunaikan kewajiban agama dan menerapkan ajaran Islam. Kewajiban pemerintah Islam antara lain adalah memberikan keamanan, menerapkan hukum, menyebarkan pendidikan, memajukan kesejahteraan umum, memperkuat moralitas, melindungi harta dan kekayaan, membela bangsa muslim, dan menyebarkan dakwah Islam. Bila pemerintah tidak dapat menunaikan kewajibannya, rakyat harus menasehati dan memandunya. Jika tidak membawa hasil, maka rakyat harus memecatnya, karena kaum muslim tidak boleh mena’ati otoritas yang melanggar kehendak Allah.[7]

Gagasan Hasan Al-banna soal peranan wanita sangat tradisional, meski dia menuliskan pandangan konservatifnya dengan istilah-istilah yang menyatakan memiliki basis yang natural dan tujuan yang baik. Dalam esainya soal wanita Muslim, dia menulis bahwa Islam memberikan kepada wanita hak personal dan politik yang sempurna. Namun pria dan wanita memiliki peran yang berbeda dalam masyarakat, berdasarkan perbedaan alamiah, biologis. Karena itu, Islam memberikan bimbingan kepada wanita untuk memenuhi peranan alamiah anugerah Allah, tempat Allah adalah rumah, dan peran utamanya adalah ibu, istri, dan pengatur rumah tangga. Maka dari itu, gadis muslim harus dipersiapkan untuk memikul tanggung jawabnya nanti bila sudah dewasa, dengan diajari membaca, menulis, aritmatika, agama, sejarah awal Islam, gizi, merawat anak, dan mengatur rumah tangga. Wanita tidak perlu belajar hukum, bahasa asing, atau ilmu teknik, karena tempatnya adalah di rumah.[8]

Lahirnya Ikhwanul Muslimin

Organisasi pergerakan Islam yang didirikan Hasan Al-Banna di Mesir pada Maret 1928 bernama Ikhwanul Muslimin, disingkat Ikhwan. Melalui organisasi ini, pendiri bermaksud membangkitkan kesadaran beragama bangsa Mesir, membangun kehidupan sosial sesuai dengan ajaran Islam, dan menumbuhkan daya juang untuk membebaskan diri dari penjajahan Inggris.

Semula, Ikhwan adalah sebuah gerakan dakwah yang ditujukan bagi lapisan masyarakat paling bawah, dnegan sebagian besar pendukung yang terdiri dari kaum buruh di Terusan Suez. Tetapi setelah menyaksikan penderitaan masyarakat buruh yang tak berujung. Hasan Al-Banna kemudian mengubahnya menjadi gerakan politik.

Pada fase awalnya, kegiatan politik Ikhwan masih bergerak di bawah tanah dan bersifat rahasia. Pandangan politiknya disalurkan melalui mesjid. Ikhwan mencari pendukung dan merintis jalan untuk mendirikan cabang secara rahasia melalui mesjid. Dengan cara ini, Ikhwan cepat berkembang. Empat tahun kemudian, Ikhwan telah mempunyai cabang hampir di seluruh daerah Terusan Suez. Di kawasan itu Ikhwan mulai mendirikan mesjid, sekolah, dan pusat pengajian, serta membina individu rumah tangga. Cabang Ikhwan dengan cepat terbentuk di kota lain. Pada 1940 telah terbentuk 500 cabang, selanjutnya pada 1949 menjadi 2.000 cabang dengan sekitar setengah juta anggota aktif. Untuk menjalin komunikasi, Ikhwan menerbitkan majalah, yaitu Ikhwan al-Muslimin, at-Ta’arruf.[9]

Pemikiran Politik Ikhwanul Muslimin

Sasaran pokok perjuangan politik Ikhwan adalah : 1. Memerdekakan Mesir dan negara Islam lainnya dari kekuasaan asing; 2. Mendirikan pemerintahan Islam yang bersadarkan Al-Qu’ran dan hadist dengan contoh model khilafah ( kekhalifahan ) pada zaman al-Khulafah ar-Rasyidun.

Dengan sasaran perjuangan tersebut, Ikhwan dengan tegas menentangkan konsep negara sekuler yang pada masa itu diperjuangkan oleh sebagian pembaru Mesir. Ikhwan berpendapat bahwa Islam bukan hanya sekadar agama, Islam adalah sebuah sistem perundang-undangan yang lengkap untuk kehidupan manusia ( Nizam al-Hayah ). Dalam Islam terdapat dasar sistem politik, ekonomi, kemasyarakatan, kenegaraan, perundang-undangan, dan seluruh sistem lain kehidupan manusia.

Untuk mewujudkan konsep khilafah, Ikhwan menetapkan tahapan perjuangan, yaitu ; tahap pertama, membentuk pribadi Muslim ( ar-rajul al-muslim ); kedua, membentuk rumah tangga Muslim ( al-bait al-muslim ); ketiga, membentuk bangsa Muslim ( asy-sya’b al-muslim ); dan keempat, membentuk pemerintahan Muslim ( al-hukumah al-muslimah ) yang perwujudannya dimulai dari tingkat akal dan berujung pada seluruh negeri muslim yang bersatu sebagai satu negara, yaitu khilafah.

Untuk mewujudkan tujuan dan sasaran perjuangan, Ikhwan menetapkan langkah progresif dan tekadang dibarengi dengan tindak kekerasan. Pusat komando Ikhwan, yang dipindahkan dari Ismailia ke Cairo, membentuk kesatuan pelopor yang dipersiapkan untuk melawan penjajah Inggris. Kemudian mereka juga mendidirikan organisasi rahasia bersenjata dan menjalin kontak dengan Gerakan Perwira Merdeka yang dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser.[10]

Ikhwan menyerukan pembentukan pemerintahan Islam yang dijalankan atas bimbingan Ulama’ dan berusaha keras menerapkan Syari’ah Islam, menyerukan penataan perekonomian yang selaras dengan ajaran Islam dan prinsip sosialis, serta berusaha mendistribusikan penghasilan secara adil. Dengan berpegang teguh terhadap landasan kitab suci Islam, dalam rangka menekankan identitas sosial dan politik Islam, dan untuk mengadaptasikan prinsip-prinsip Islam terhadap kebutuhan sebuah masyarakat modern. Ikhwan melancarkan perhatian kepada reformasi moral, pendidikan, proyek ekonomi, dan pembentukan sebuah negara Muslim.[11]

Ikhwan memberikan dukungannya bagi pihak yang mampu berbuat baik, dan memberikan nasihat dengan etika Islam bagi pihak yang berbuat buruk. Usaha meraih kekuasaan bukanlah tujuan utama Ikhwan. Namun yang dituntut adalah kerjasama untuk mendirikan daulah Islam yang menyerahkan urusannya kepada Allah swt.[12]



[1] Ilyas Hasan, Para Perintis Zaman baru Islam ( Cet. II, Mizan, Bandung, Desember 1996 ) hlm. 127.

[2] Anis Matta, dkk., Risalah Pergerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun 1 ( Cet.XIII, Era Intermedia, Surakarta, 2006 ) hlm.17.

[3] Prof. Dr. H. Ramayulis, Dr. H. Samsul Nizar, M.A., Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam : Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia ( Cet.I, Quantum Teaching, Jakarta, November 2005 ) hlm. 85- 86

[4] Ibid., hlm. 87.

[5] Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 ( Cet. I, Gema Insani, Jakarta, Desember 2006 ) hlm. 202-203.

[6] Ilyas Hasan., Opcit., hlm. 134.

[7] Opcit., hlm. 136- 138.

[8] Opcit, hlm. 145.

[9] Nina M. Armando., Ensiklopedi Islam ( Edisi Baru, Ichtiar Baru Van Hoeve, jakarta, 2005 ) hlm. 150.

[10] Ibid., hlm. 151.

[11] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam ( cet. I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999 ) hlm. 119.

[12] Herry Mohammad, opcit., hlm. 205.

Nama : Muksalmina
NIM : 140 707 615
MK : Pemikiran Politik Islam Klasik dan Kontemporer


pertanyaan
1. Bagaimana anda memahami posisi pemikiran dalam Islam? Lalu kaitkan dengan dinamika sosial politik ketika pemikiran itu muncul dalam Islam.
2. Bagaimana anda memahami persoalan tingkat spiritual dalam politik Islam serta perseoalan moral di kalangan Barat ?
3. Tolong anda ringkaskan mengenai posisi “ Kepemimpinan “ dan “ Keperluan akan pemimpin” dalam sejarah politik Islam ( sesuai dengan diskusi kita dalam kelas ).

Jawab :
1. Menurut pemahaman saya, ada beberapa posisi pemikiran dalam Islam;
a. Posisi pemikiran dalam Islam adalah bagaimana upaya untuk memahami ajaran agama yang sesuai dengan kehendak Allah dan sekaligus bisa menjawab tuntutan realitas ummat.
b. Selalu dihadapkan pada tarik- menarik antara dua kutub ekstrem berupa wahyu yang tidak pernah berubah dan realitas sosial yang cenderung berubah.
c. Untuk memahami inti pesan wahyu Allah dalam rangka menjawab persoalan ummat yang cenderung berubah. Baik pada dataran teori dan metodelogi ( ushul al-fiqh ) maupun aplikasinya ( al-fiqh ).

Bila dikaitkan dengan dinamika sosial politik ketika pemikiran itu muncul dalam Islam;
a. Pada umumnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari Islam itu sendiri sebagai satu agama sejak awal munculnya pemikiran itu dalam Islam.
b. Terjadinya perdebatan seputar persoalan umat pada persoalan praktis ( al-fiqh ) dan amat jarang menyentuh persoalan teori maupun metodelogi ( ushul al- fiqh ) tidak terkecuali dalam hal negara dan pemerintahan.
c. Terjadinya kesalahpahaman terhadap ajaran Islam, Muhammad Qutub mengemukakan di dalam bukunya Syubuhat Halw al-Islam tentang salah paham terhadap ajaran Islam, yang berkaitan dengan hubungan agama dengan negara dan segala sesuatu yang terkait dengannya. Salah paham ini terlihat antara lain dari banyaknya kalangan yang merespon tentang ide negara dalam Islam namun kurang didukung oleh pengetahuan tentang ajaran Islam dan sejarah Islam itu sendiri. Ini terjadi karena kebanyakan dari mereka sudah terjebak pada pola berfikir sekuler yang menganggap agama sebagai urusan pribadi dan tidak layak untuk dihadirkan dalam perdebatan umum, dan hanya layak untuk diangkat dilembaga-lembaga yang dipandang patut dan cocok untuk membicarakan agama seperti mesjid, mushalla, atau tempat dan forum lain yang secara eksklusif disebut sebagai forum pengajian agama.
d. Realitas sejarah yang menunjukkan konflik atau pemisahan antara ‘ulama ( agama ) dan umara’ ( negara ) lebih menggambarkan penyimpangan dari ajaran yang seharusnya. Dengan kata lain, adanya pemikiran terhadap pemisahan tersebut terjadi justru karena penguasa politik cenderung otoriter dan korup yang kemudian mendapat tantangan keras dari para ulama’ yang menginginkan umat tetap berada pada jalur ajaran syari’ah.
e. Pada kondisi tersebut timbulnya pemikiran barat sekuler yang kemudian merasuk ke tengah-tengah umat Islam, salah satu contoh teori sejarah yang terkait dengan hal itu adalah ;
- Timbulnya teori lingkaran ( cylical theory ), yang menyatakan pada dasarnya mendapat fenomena-fenomena dasar yang sama antara satu peristiwa dengan yang lain. Perbedaan yang ada seringkali hanya pada dataran permukaan dan bukan esensi.
- Teori lingkaran mendapat tantangan keras pada masa Abad pertengahan, yaitu timbulnya teori takdir ( providential theory ) yang menyatakan manusia tidak lagi punya hak dan kemampuan untuk mengontrol diri dan lingkungannya ( dunia ), dan segala aktivitas kehidupan hanya diperuntukan untuk kehidupan di alam sana ( akhirat ),
- Kemudian teori diatas dibantah dengan teori Progres ( progress theory ) menyatakan bahwa manusia itu bisa berkembang dan maju, dan hal ini bisa dicapai jika manusia bisa mengontrol diri dan lingkungannya melalui penelitian secara alami yang pada dasarnya bisa dilakukan oleh setiap orang.




2. Tingkat Spiritual dalam politik Islam dan Moral di kalangan Barat
Sebagai makhluk multidimensi yaitu makhluk yang memiliki unsur fisik dan non fisik, proses pencarian nilai-nilai spiritual yang akan dilakukan seorang manusia tentunya bukanlah sesuatu yang mudah. Mengingat unsur fisik didalam diri manusia yang dalam proses aktualisasinya telah menciptakan realitas tersendiri dan terkadang sangat kontradiktif terhadap aspek spiritual, seperti materialisme dan rasionalitas didalam menentukan sebuah cara pandang. Pada masa sekarang, materialisme dan rasionalitas merupakan suatu wujud kongkrit eksistensi manusia. Sehingga segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia harus didasari atas kedua hal tersebut.
Dalam prinsipnya ia tidak mengenal hirarki kekuasaan. Bahwa ada kesultanan dan kerajaan dalam sejarah Islam, bukan lah ini berpangkal pada adanya hirarki kekuasaan dalam agama Islam, melainkan karena budaya masyarakatnya memang mengenal hirarki ini. Dalam semua lapisan masyarakat, apakah itu rakyat jelata, pejabat, polisi, tentara, kalangan orang bisnis, orang teknik atau teknologi, pendidikan, universitas, pekerja, petani, nelayan dan sebagainya, Islam menuntut pada pemeluknya untuk menegakkan ajaran Islam dalam diri, Negara, dan masyarakat. Ajaran Islam itu tersimpul dalam kata syari’ah.
Dalam politik Islam ada 3 tingkatan spiritual yaitu Kesadaraan, Mind ( ideologi ) dan Action.
• Kesadaran
Yaitu kepatuhan terhadap ketundukan kepada pemimpin. Ajaran normatif bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dari negara yang didukung pula oleh pengalaman ummat Islam di madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Hal ini terus berlangsung hingga masa khulafa’ al-Rashidun. Sebagaimana pada masa Nabi, para khalifah memegang kekuasaan baik menyangkut kekuasaan agama ( ulama’ ) ataupun politik ( umara’). Pada saat itu, kekuasaan untuk mendefinisikan hal-hal yang dianggap benar menyangkut ajaran syari’ah ( sebagai ulama’ ) berada ditangan para khalifah. Begitu pula, kekuasaan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada, untuk menjamin kesejahteraan masyarakat, dan juga untuk melanjutkan misi Islam yang telah dilakukan oleh Nabi ( sebagai Umara’ ). Semuanya berda di tangan para khalifah.
Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Natsir, adanya demokrasi yang dilandaskan kepada nilai-nilai ketuhanan. Keputusan mayoritas rakyat berpedoman kepada nilai-nilai ketuhanan itu sendiri.
• Mind ( ideologi )
Dalam masalah ini, banyak timbulnya nuansa-nuansa pemikiran politik. Setelah masa al-khulafa’ al- Rashidun, ada nuansa-nuansa yang agak berbeda. Kematian khalifah ketiga, Utsman ibn Affan, telah menyulut pertikaian politik yang cukup serius dan telah membuat peta politik agak berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Pengganti Utsman, Ali ibn Abi Thalib, gagal diterima semua umat. Ini antara lain ditandai dengan munculnya kekuasaan Umayyah, satu dinasti yang dikenal berorientasi kesukuan. Dalam perjalanan sejarahnya. Umayyah elah membuat beberapa kalangan tidak senang bahkan menuduhnya telah jauh dari ajaran Islam. Berbagai reaksi muncul, diantaranya dari kalangan yang tergolong ulama’. Sejak saat inilah dikenal kemudian istilah ulama’ yang dipandang berhak untuk mengurus masalah agama, misalnya menyangkut upaya pemahaman ajaran syari’ah yang terdapat di dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi. Sementara amir, sulthan, khalifah, dan yang semacamnya hanya dikenal sebagai penguasa yang bertanggung jawab atas masalah-masalah politik, negara, dan pemerintahan yang kemudian digolongkan pada umara’.
Perlu ditanamkan di dalam dada penduduk negara itu satu falsafah kehidupan yang luhur dan suci, satu ideologi yang menghidupkan semangat untuik giat berjuang untuk mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat ( pernyataan Muhammad Natsir ).
• Action
Nuansa ketegangan antara kekuasaan agama dan politik atau antara ulama’ dan umara’ semakin kompleks pada masa Abbasiyah. Pada masa itu terjadi pertarungan antara ulama’ dan umara’ untuk memperebutkan kekusaan menyangkut ajaran syari’ah.
Pada awal munculnya Abbasiyah, ada upaya keras untuk menyatukan kembali kedua kekusaan itu. Hal ini terlihat dari upaya-upaya yang dilakukan al-Mansur, al-Rasyid , dan al-Ma’mun.

Moral di kalangan Barat :
POLITIK berhubungan dengan kekuasaan. Dalam masa dahulu, apalagi Yunani kuno, politik mencakup semua soal yang berkaitan dengan masyarakat, termasuk pendidikan dan agama. Dengan terpilihnya bidang-bidang kehidupan di Barat, terutama dengan tumbuhnya pemikiran tentang negara sekuler di satu pihak dan negara agama di pihak lain, politik yang menguasai kehidupan di Barat terpisah dari soal dan ajaran agama. Perkembangan ini diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terpisah dari agama. Sebenarnya, agama yang dimaksudkan di sini adalah agama Kristen, karena memang pertentangan paham hidup di masa abad pertengahan Eropa itu adalah pertentangan antara akal (reason, rasio) dan gereja, antara raja dan gereja. Baik raja maupun gereja mengenal hirarki kekuasaan. Gereja dengan pendetanya yang berpuncak pada Paus, dan raja dengan menteri dan hulubalangnya. Gereja dan raja itulah yang memperebutkan kekuasaan.
• Persoalan moral dalam kalangan barat muncul pada abad modern ( abad ke-20, yang berkaitan dengan munculnya pemikiran- pemikiran barat ( modernisme pemikiran ) tentang adanya keyakinan-keyakinan beragama untuk memadukan gagasan-gagasan modern. Yang pada awalnya hal ini muncul bukan diasosiasikan dengan agama, bahkan Islam.
• Moral dalam hal ini dapat diartikan sebagai kesadaran internal, kebebasan ( freedom ), dan individualisme. Moral juga dapat diartikan sebagai segala tindakan yang diambil, diterapkan selama tindakan tersebut tidak bertentangan/ melanggar kebebasan orang lain.
• Moral ini cenderung terhadap pemikiran-pemikiran atau perubahan kepada era modern.
• David E. Apter menyebutkan ada 4 tahap modernisasi, yaitu :1. Modernisasi berawal dengan sedikit individu yang berani, rajin, dengan perasaan missi kuat atau keserakahan, atau kegairahan, atau hasrat untuk berpetualang. Mereka adalah pelopor. Pada tahap ini terdapat kontak antara penduduk ( dan minoritas ) dengan penduduk pribumi. ( tahap ini bisa dikatakan sebagai individualisme dan kesadaran internal sebagai respek ( menghormati ) sesama penduduk. 2. Tahap perkembangan kedua memperlihatkan efek kolonialisme. Elit-elit asing yang inovaif-pedagang, birokrasi, dan pemerintahan, agama dan pengabar injil- menciptakan pusat-pusat kota yang sebelumnya tidak ada, atau mengganti yang ada. 3. Ketika elit-elit baru muncul ( seringkali merupakan hasil perkawinan campuran antara orang-orang asing dan orang-orang pribumi ) assosiasi yang lebih kompleks dalam politik muncul. Elit-elit lokal menuntut partisipasi yang lebih besar dari orang-orang terdidik. 4. Tahap ini ditandai oleh pembangunan politik bukannya pembangunan ekonomi. ( tahap ke-2 sampai 4. Tahap ini bisa dikatakan sebagai kebebasan ( freedom ) terhadap moral ( respek; hormat ) dalam sebuah proses menuju modern.
3. Posisi kepemimpinan dalam sejarah politik Islam adalah;
Di dalam konsep (manhaj) Islam, pemimpin merupakan hal yang sangat final dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama’ah, pemimpin ibarat kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapannya dalam memimpin akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan kesejahteraan ummat dengan iringan ridho Allah

a. Sebagai yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah daripada yang mungkar.
b. Untuk menciptakan tercapainya hidup yang sempurna. Dalam rangka tercapainya posisi kepemimpinan, secara normatif al-Quran telah menggariskan sejumlah prinsip, dan yang pertama sekaligus utama adalah ajaran tauhid yang menetapkan pentingnya prinsip kesatuan.
c. Menegakkan prinsip antara warga Negara dan Pemimpin, yaitu Sebagai Penegak ajaran Allah ( syari’ah ), dan mereka yang berpaling darinya akan mendapat hukuman.

Keperluan akan pemimpin dalam sejarah politik Islam;
a. Pemimpin sangat diperlukan dalam mengatur sebuah negara, apabila tidak adanya pemimpin, maka tidak akan tercapainya atau berjalannya hukum Allah, segala hal yang ma’ruf, pencegahan yang mungkar. Karena tujuan dasar adanya pemimpin adalah untuk tercapainya kebahagian hidup yang sempurna.
b. Di dalam sebuah negara, pemimpin diwajibkan untuk bertanggung jawab atas segala kebijakan dan perbuatannya dan juga harus bisa dikoreksi secara transparan.
c. Hanyasanya pemimpin yang diperlukan itu harus memenuhi ketentuan kualitas seorang pemimpin yang ditentukan oleh al-Qur’an.
d. Perlu juga ditegaskan bahwa sekali pucuk pimpinan tersebut terpilih maka dituntut keta’atan dari seluruh rakyat melalui sistem Bay’ah, dalam Islam pengakuan seluruh umat paling tidak mayoritas mereka, amat penting sebagai sebuah legitimasi dari seorang pemimpin. Dengan legitimasi ini maka terjadi satu kesatuan antara pemimpin dengan rakyat, dan hal ini bekal terpenting dalam menghadapi semua persoalan dalam segala kondisi.

Keperluan akan pemimpin dalam sejarah politik islam banyak menimbulkan pemikiran-pemikiran politik diantaranya, yaitu :
a. Pemikiran politik Sunni dan Syiah
• Pemikiran politik Sunni, yaitu :
Mengatur cara penetapan khalifah dan dasar-dasar untuk memecat kekuasaannya. Dalam masalah penetapan khalifah ini, didasarkan pada empat prinsip umum; 1. Berdasarkan keutamaan keturunan, Khalifah atau Imam harus dari keturunan Quraisy. 2. Bay’at sebagai syarat yang disepakati oleh mayoritas umat Islam dalam pemilihan Kepala Negara yang dilakukan oleh ahl al-hall wal al-‘aqd. 3. Prinsip Syura ( musyawarah/ konsultasi ), yakni pemilihan khalifah melalui musyawarah atau konsultasi. 4. Prinsip keadilan.
Keharusan adanya kepala negara dan pemerintahan itu sendiri guna mencegah kekacauan dan keinginan untuk menjalankan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Sahnya jabatan khalifah dapat diwujudkan dengan dua cara, yaitu;
1. dengan cara dipilih oleh ahl al-hall wal al-aqdi
2. dengan menyerahkan mandat dari kepala Negara sebelumnya.

• Pemikiran politik Syiah, yaitu :
Imamah harus secara langsung jatuh ketangan Ali bin Abi Thalib menantu Nabi dan harus tetap demikian dari generasi ke generasi menurut garis keluarga Ali.

b. Pemikiran politik khawarij dan Mu’tazillah
• Pemikiran politik khawarij
1. Menetapkan seorang Imam adalah wajib
2. Pemilihan umum diserahkan kepada ummat
3. Imam tidak sah apabila tidak dengan pemilihan ummat
4. Ummat dapat memilih pemimpin baik dari suku Quraisy maupun ‘ajam.

• Pemikiran politik Mu’tazillah
1. Imam bisa berlaku bagi suku Quraisy
2. Imamah merupakan pilihan rakyat
3. Apabila sudah tentram masyarakat, keadilan sudah betul-betul merata serta sudah tidak ada lagi ancaman terhadap jiwa, harta benda, dan kehormatan, maka Imam tidak wajib lagi untuk dipilih.

c. Pemikiran politik al-Ghazali dan Ibnu Khaldun
• Pemikiran politik al-Ghazali
1. Khalifah adalah pelindung pelaksanaan syari’at
2. Khalifah harus menguasai teori-teori politik dan harus faqih dan kompetensi
3. Pemerintah yang Syar’I itu harus ada
4. Pemimpin itu harus adil, tidak zalim, tidak nepotis, melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminal.

• Pemikiran politik Ibnu Khaldun
1. Munculnya negara karena adanya makhluk sosial yang saling membutuhkan.
2. Tanpa negara yang terorganisir dengan baik, maka kehidupan manusia belum lengkap.
3. menggabungkan konsep sosiologis dan agama dalam membangun negara.
4. seorang pemimpin harus mempunyai kelebihan.
5. Khalifah adalah sebagai penegak agama dan mengatur soal duniawi.

d. Pemikiran politik Ibnu Abi Rabi’ dan Al-Farabi
• Pemikiran politik Ibnu Abi Rabi’;
1. Proses terbentuknya negara dikarenakan bantuan makhluk sosial
2. bentuk pemerintahan monarki/ kerajaan
3. pemilihan secara turun-temurun.

• Pemikiran politik Al-Farabi:
1. Untuk terbentuknya kota utama, maka harus membentuk kota demokratis yang memiliki kebaikan dan keburukan yang berjalan beriringan.
2. Pemerintahan demokratis.
3. ada beberapa negara yaitu, negara Utama, negara bodoh, negara rusak, negara merosot, dan negara jahat.
4. berfokus kepada masyarakat sempurna kecil yaitu masyarakat kota atau negara kota yang mana kesatuan politiknya menempati urutan yang terbaik daripada negara bangsa ( masyarakat sempurna besar ).

e. Pemikiran politik Al- Mawardi dan Ibnu Taimiyah
• Pemikiran politik Al- Mawardi
1. Kepala negara merupakan lingkup garapan Khalifah kenabian di dalam memelihara agama dan mengatur dunia dan mengesahkannya.
2. Khalifah harus berbangsa arab dari suku Quraisy dan begitu juga pembantunya. Karena mempunyai kemampuan yang yang luar biasa.
3. Imam adalah raja, Presiden, Sulthan.
4. Imam sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara.
5. adanya Negara karena kontrak sosial.
6. tanpa pemimpin akan terjadi suasana chaos.
7. Imam harus memenuhi syarat adil dengan universal, berilmu untuk berijtihad, sehat indrawi dan sehat organ tubuh, berwawasan luas, berani dan ksatria.
• Pemikiran politik Ibnu Taimiyah
1. Model Negara boleh apa saja, asalkan bisa merealisasikan tujuan-tujuan sebuah negara, yaitu kemaslahatan umat, menciptakan keadilan dan menegakkan syari’at Islam.
2. memberi peluang adanya pluralisme dalam dunia Islam.
3. Umat Islam tidak harus mempunyai seorang Khalifah, tetapi dibolehkan adanya beberapa Khalifah dan beberapa Negara yang menjadi daerah kekuasaan masing-masing khalifah itu.
Dari pemikiran-pemikiran politik yang tersebut diatas, tidak ada satupun yang mengatakan tidak perlunya seorang pemimpin, bahkan dari semua pemikiran tersebut semuanya menjelaskan katagori-katagori seorang pemimpin. Dalam hal ini jelas bahwa dalam sejarah politik Islam, adanya keperluan akan pemimpin dalam sebuah negara.