PEMIKIRAN POLITIK HASAN AL-BANNA
DAN AL-IKHWAN AL-MUSLIMIN
Latar Belakang Historis
Selama abad sembilan belas, nasib baik politik dan ekonomi Mesir semakin erat terkait dengan Eropa. Selama awal 1800-an, mesir mengekspor kapas ke Eropa dalam jumlah besar, dan kapas pun akhirnya jadi hasil utama mesir. Untuk memudahkan tumbuhnya perdagangan antara Mesir dan Eropa, para investor asing mendukung berbagai proyek untuk mengembangkan infrastruktur komunikasi dan transportasi modern. Jalan kerata api, pelabuhan, kanal, telegram, dan bendungan dengan cepat dikembangkan. Proyek terpentingnya adalah pembangunan Terusan Suez, yang selesai pada 1869. Selain memodernisasikan ekonomi Mesir, berbagai proyek ini juga membuat Mesir banyak berutang kepada kreditor Eropa.
Penetrasi finansial dan perdagangan asing di mana-mana, dan kehadiran mereka semakin luas di Mesir, menyebabkan penguasa dan elite kaya negeri ini berperilaku dan beradat istiadat seperti orang Eropa. Dimensi kultural Imperialisme ini melukai kepekaan Mesir dan memupuk sentimen anti-Eropa serta keinginan untuk menyingkirkan pengaruh asing. Pada 1881, muncul suatu gerakan menentang dominasi politik, ekonomi dan budaya Eropa. Tetapi karena kelihatan mengancam investasi asing, gerakan ini mendorong Inggris melakukan invansi pada September 1882. Meski Inggris menyatakan akan pergi kalau kepentingan asing dilindungi, namun mereka tetap bercokol di bumi Mesir hingga abad kedua puluh.
Inggris melembagakan suatu sistem pemerintahan tidak langsung, dimana Residen Inggris dan penasehatnya bekerja dengan dinasti yang berdiri sebelumnya pada abad ini, namun tak pernah lepas dari kekuasaan ‘utsmaniah. Selama sebagian besar periode sebelum Perang Dunia pertama, Residen Inggris dan penguasa Mesir, yang dikenal dengan sebutan khedive atau raja muda, bekerja sama memerintahkan Mesir. Pada awal 1900-an, lahirlah sebuah gerakan nasionalis baru, dan menyerukan kemerdekaan Mesir. Ketika meletus Perang Dunia Pertama, gerakan nasionalis ini sudah sampai pada puncaknya, dan mulai merosot. Ketika emperium ‘Utsmaniah berperang melawan Inggris, Inggris secara resmi memisahkan Mesir dari ‘Utsmaniah dan menyatakan protektorat atas Mesir. Pada akhir perang, pada 1919, berdiri sebuah gerakan nasionalis popular untuk kemerdekaan Mesir. Hasan Al-Banna, yang baru berusia tiga belas tahun, ikut demontrasi menuntut kepergian Inggris. Inggris menghadapi badai protes nasionalis, dan akhirnya membuat pernyataan sepihak soal kemerdekaan Mesir ( dengan beberapa syarat ) pada 1922. Dengan demikian, iklim politik di seputar tahun-tahun awal kesadaran sosial Hasan Al-Banna ditandai dominasi asing dan perlawanan terhadap dominasi asing ini.
Inggris mendirikan rezim politik yang disiapkan untuk monarki konstitusional yang berparlemen, berpemilu, dan berpartai politik. Setelah itu berkembanglah perjuangan politik dikalangan istana raja, partai politik, dan Inggris. Perjuangan ini berpusat pada dua soal: memodifikasi batas-batas kemerdekaan Mesir, dan keseimbangan kekuasaan antara istana dan partai nasionalis, terutama partai paling berpengaruh pada waktu itu, Wafd, dan pemimpinnya yang popular Sa’ad Zaghlul. Pada 1920-an, perilaku ketiga unsur dalam perjuangan politik itu tak mempercayai sistem parlementer, ketika masing-masing melanggar semangat demokrasinya demi kepentingan sendiri. Akibatnya, pada 1930-an, banyak orang mesir menganggap sistem politik ini korup dan didominasi kepentingan pribadi.
Dominasi politik dan ekonomi Eropa disertai dominasi budaya terlihat pada kecenderungan elite Mesir untuk bergaya hidup Barat dan untuk memungut gagasan Barat, meski dengan mengorbankan keyakinan dan praktik tradisional Islam.
Pada 1920-an, elite politik dan intelektual Mesir lebih mendukung ideologi modernis sekular, ketimbang yang pernah terjadi sebelumnya. Gagasan politik dan kultural Eropa mewarnai halaman koran, majalah dan buku Mesir. Kairo dan Iskandariah mengembangkan lingkungan terbaratkan, di mana orang Mesir dapat bergaya hidup Eropa, seperti sering mengunjungi restoran, klub malam, bioskop, dan teater. Dalam konteks ini, penulis mesir menguraikan identitas nasional Mesir sekular yang mencari inspirasi dari warisan Fir’aun pra-Islam. Nasionalisme sekular Mesir ini menempatkan Islam hanya sebagai urusan suara hati dan ibadah pribadi yang terpisah dari kehidupan masyarakat. Orientasi kultural ini memuaskan elite urban berpendidikan, namun tidak relevan dengan kalau bukan menghina adat istiadat dan nilai kultural kebanyakan orang Mesir.
Kaum modernis sekular Mesir percaya bahwa kultur Eropa lebih unggul, dan berupaya mempromisikan unsur-unsur kultur itu. Kaum sekularis menganjurkan perubahan status wanita, seperti menyingkirkan hijab. Seakan serangan sekularis ini belum cukup menggusurkan dan mengkhawatirkan Muslim saleh, kehadiran misionaris Barat terus meningkat dan dipercaya, sehingga penulis misionaris blak-blakan mengkritik Islam, baik dalam kuliah maupun tulisannya. Seorang pengamat masyarakat Mesir selama 1920-an berkesimpulan bahwa pasang kultur sekular Barat akan segera menyapu bersih kultur Muslim Mesir.[1]
Hasan Al-Banna
Hasan Al-Banna Al-Imam Al-Syahid hasan bin Ahmad Abd. Al-Rahim Al-Banna ( yang dikenal Hasan Al-Banna ) dilahirkan pada tahun 1906 M di kota Mahmudiyah dekat kota Iskandariah.[2] Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ta’at beragama, berpendidikan, kaya, dan terhormat. Ayahnya Syekh Ahmad Abd AL-Rahman pernah belajar di Universitas AL-Azhar pada masa zaman Syekh Muhammad Abduh.
Hasan Al-Banna semenjak kecil telah mendapat didikan dari ayahnya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Ia dikarunia banyak kelebihan di usia dini. Ayahnya seorang ilmuwan yang mendalami ilmu hadist, sehingga kontribusinya di bidang ini mendapat penghargaan dari para ulama. Pada usia belasan tahun Hasan Al-Banna sudah menjadi anggota golongan sufi yaitu tasawuf Hassafiyah. Pada usia 16 tahun sudah merantau melanjutkan pendidikan ke propinsi al-Bukhairah ( Mesir ). Jenjang pendidikannya diawali dari Madrasah Diniyah al-Rasyad dengan seorang guru bernama Syekh Muhammad Zahran sekaligus pemilik madrasah tersebut. Di madrasah ini Hasan Al-Banna belajar hadist nabi dengan target menghafal dan memahaminya, insyak, qawa’id dan lain-lain. Selanjutnya, ia pindah ke madrasah Idadiyah dan Madrasah al-Muallimin al-Awwaliyah di Damanhur, kemudian melanjutkan ke Darul Ulum Mesir pada tahun 1923 M dalam usia 16 tahun.
Selama berada di kairo, ia sering mengunjungi toko buku dan mempelajari majalah al-Manar karya Rasyid Ridha. Ia sangat mengagumi pemikiran Rasyid Ridha terutama tentang keyakinannya akan sempurna Islam sebagai satu-satunya agama yang berisikan segala sistem yang dibutuhkan dalam kehidupan umat manusia.
Pada tahun 1927 dalam usia 21 tahun, ia telah menyelesaikan studinya dengan baik di Darul ulum. Sesudah itu, ia di angkat jadi seorang guru di Madrasah Ibtidaiyah di kota Ismailiah terusan suez dan dekat lokasi markas besar Suez Canal Company. Di sinilah ia melihat dengan jelas dominasi asing terhadap pribumi. Di samping sebagai guru di pagi hari ia juga berdakwah di sore hari dan begitu juga di waktu-waktu libur.[3]
Karya Hasan Al-Banna
Karya Hasan Al-Banna yang terbesar adalah mendirikan organisasi Ikhwan Al-Muslimin. Setelah ia berada di Mesir, ia melihat dan merasakan sendiri bagaimana pengaruh dari sekularisme yang melanda bangsa Mesir. Umat Islam pada waktu itu tidak lagi berkiblat ke Islam. Kebanyakan bangsa Mesir telah meninggalkan kulturnya dan bergaya hidup Barat. Akibatnya terjadi dekade moral dan kehancuran tatanan sosial. Para penjajah melakukan kerusakan yang bersifat ilmiah, ekonomi, kesehatan, moral dan seterusnya. Umat Islam pada waktu itu tidak mempunyai logika lain dalam memimpin dunia selain logika kemaslahatan materi, kekuasaan, dan penguasaan bahan-bahan mentah. Akibat sikap yang demikian, sebagian besar kaum muslimin seakan tercerabut dari akar budayanya, terutama kelas menengah dan kalangan elit politik. Islam pada saat itu tidak dipandang sebagai way of life, tetapi dipandang sebatas ajaran ritual-formalistik belaka.
Untuk mengantisipasi keadaan masyarakat di atas, ia mendirikan organisasi Ikhwan Al-Muslimin yang bergerak dalam bidang dakwah, tarbiyah, sosial, dan jihad. Organisasi ini berdiri atas dasar fikrah ( pemikiran ), maknawiyah ( moralitas ), dan amaliyah ( gerakan ).[4]
Pemikiran Politik Hasan Al-Banna
Hasan Al-Banna mengajukan manhaj dakwah yang menurutnya Islam itu sendiri. Pemikiran Hasan Al-Banna dan dakwahnya adalah Islam. Tidak ada unsur lain selain Islam. Dan dia tidak pernah mencampuradukkan Islam dengan unsur lain sedikitpun, berupa agama, aliran, atau kepercayaan selain Islam. Hasan Al-Banna tidak membawa agama baru atau pemikiran baru, namun yang ia bawa adalah apa yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.. Oleh karena itu, pemikiran Hasan Al-Banna menjadi istimewa dibandingkan pemikiran yang lain.
Hasan Al-Banna berpendapat, jika ada yang menyangka bahwa agama tidak berkaitan dengan politik atau bahwa politik bukan bagian dari sasaran agama, berarti orang itu telah menzalimi dirinya sendiri, dan menzalimi keilmuannya terhadap Islam. Dan kita tidak mengatakan bahwa dia menzalimi Islam, karena Islam adalah syari’at Allah yang tidak mengandung kebathilan dari dalamnya maupun dari belakangnya. Alangkah indahnya perkataan Imam AL-Ghazali r.a, “ ketahuilah, syari’ah adalah dasar, dan raja adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak mempunyai dasar akan runtuh, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya akan hilang. Daulah Islam tidak akan berdiri kecuali berdasarkan asas dakwah, sehingga dia menjadi agama risalah, bukan sekadar urusan administrasi, dan tidak menjadi pemerintahan yang material, beku dan tuli, yang tidak mempunyai ruh. Dan dakwah Islam pun tidak berdiri kecuali dibawah naungan penjagaan negara, bantuan dan kekuatannya.”[5]
Hasan Al-Banna dan pembaru Muslim sebelumnya seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh, percaya bahwa kelemahan dan kerentanan Muslim terhadap dominasi Eropa disebabkan oleh penyimpangan kaum muslim dari Islam ‘ sejati ‘. Untuk membangkitkan Mesir, kaum muslim harus bertekad untuk kembali memahami dan hidup menurut Islam seperti dicontohkan generasi-generasi pertama muslim ( salaf ). Negara Islam pada masa Nabi Muhammad dan Khalifah Rasyidun menunjukkan perwujudan suatu tatanan Islam komprehensif yang konkret historis. Dibawah penguasa selanjutnya, dunia Muslim jadi semakin lemah. Beberapa faktor penyebabnya adalah perebutan kekuasaan, perpecahan akibat soal-soal sekunder, kemewahan penguasa, pemerintahan oleh non-arab seperti Turki dan Persia yang tidak pernah tahu Islam sejati, kurangnya minat pada ilmu-ilmu praktis, dan taklit buta pada otoritas.
Subordinasi politik dunia Muslim membuat mereka rentan terhadap pengaruh budaya Eropa. Hasan Al-Banna percaya bahwa peradaban Eropa terdiri atas ateisme, ketidakbermoralan, egoisme individu dan kelas, serta riba. Dia menyebut budaya Eropa sebagai budaya materialistis yang mengutangi kaum Muslim agar dapat mengendalikan ekonomi Muslim. Kejahatan Eropa yang diimpor ke Mesir, antara lain minuman keras, ruang dansa, dan pakaian wanita ala Barat. Eropa mendirikan sekolah-sekolah yang menanamkan pujian berlebihan kepada Barat di kalangan elite Muslim, dan melukiskan Islam tidak sempurna.[6]
Tulisan Hasan Al-Banna mengenai agama dan politik, mencerminkan transisi dari penekanan pembaru islam sebelumnya bahwa Islam dan politik tidak dapat dipisahkan, ke penguraian lebih terinci mengenai fungsi negara Islam dan prinsip dasarnya. Hidup di era ketika pemerintahan konstitusional, parlemen, dan pemilu mendapat dukungan dari kaum Muslim berwawasan politik di Mesir dan di lain tempat. Hasan Al-Banna menegaskan bahwa prinsip Islam dapat diterapkan pada keyakinan yang banyak dianut dalam soal politik dan lembaga politik. Dia menulis bahwa Islam memerlukan suatu pemerintah yang mencegah anarki, namun tidak menetapkan bentuk pemerintahan tertentu. Islam hanya meletakkan tiga prinsip pokok. Pertama, penguasa bertangggung jawab kepada Allah dan rakyat, bahkan dianggap sebagai abdi rakyat. Kedua, bangsa Muslim harus bertindak secara bersatu, karena persaudaraan Muslim merupakan prinsip iman. Ketiga, bangsa Muslim berhak memonitor tindakan penguasa, nasehat penguasa dan mengupayakan agar kehendak bangsa dihormati. Karena ketiganya merupakan prinsip yang sangat luas, maka negara Islam bisa memilih banyak bentuk termasuk demokrasi parlementer konstitusional. Sebagai tujuan yang panjang Hasan Al-Banna menyerukan dihidupkannya kembali kekhalifahan. Dia berkata bahwa tugas ini memerlukan kerja sama penuh kaum muslim melalui berbagai fakta, persekutuan dan pada puncuknya Liga Bangsa- Bangsa Islam.
Hasan Al-Banna menolak peranan sistem multipartai di negara Islam. Dia mengatakan bahwa sistem parlementer bisa memiliki satu, dua, atau beberapa partai. Pengalaman Mesir menunjukkan bahwa sistem mutipartai melanggar nilai fundamental Islam seperti kesatuan nasional, dengan cara menaburkan benih perpecahan. Hasan Al-Banna memang memandang partai-partai politik Mesir sebagai faksi-faksi yang dasar pada perbedaan dikalangan figur terkemuka. Dia menyerukan agar semua partai dibubarkan dan agar dibentuk satu partai untuk mempersatukan bangsa, untuk memerdekakan bangsa, dan untuk mengupayakan pembaruan internal.
Pemilu dapat menjamin kehendak bangsa. Namun sistem pemilu Mesir perlu diperbaharui. Pemilu langsung di bawah hukum 1923, dan pemilu dua-tahap pada 1930, telah gagal memilih orang yang tepat. Pemilu ini justru memilih kelompok yang tidak representatif dari elite Mesir. Untuk menyelesaikan persoalan ini, Hasan Al-Banna mengusulkan agar hukum pemilu yang baru menegaskan persyaratan untuk calon yang akan dipilih. Dia ingin agar yang jadi calon hanya orang yang ahli hukum agama dan urusan publik, dan hanya memimpin ‘alamiah’ masyarakat: kepala suku, keluarga, dan organisasi. Hasan Al-Banna juga ingin membatasi kampanye pemilu, khususnya melarang serangan terhadap pribadi.
Hasan Al-Banna menyesuaikan visi negara Islamnya dengan sistem politik yang ada di Mesir. Keinginannya menghindari konfrontasi dengan negara, membuatnya cenderung menyatakan pandangannya secara umum. Keengganannya menyebutkan isi khas visi negara Islamnya, membuat Hasan Al-Banna menguraikannya secara berbeda untuk waktu yang berbeda. Kadang dia menulis bahwa pemerintah baru bisa disebut Islam kalau para anggotanya yang muslim menunaikan kewajiban agama dan menerapkan ajaran Islam. Kewajiban pemerintah Islam antara lain adalah memberikan keamanan, menerapkan hukum, menyebarkan pendidikan, memajukan kesejahteraan umum, memperkuat moralitas, melindungi harta dan kekayaan, membela bangsa muslim, dan menyebarkan dakwah Islam. Bila pemerintah tidak dapat menunaikan kewajibannya, rakyat harus menasehati dan memandunya. Jika tidak membawa hasil, maka rakyat harus memecatnya, karena kaum muslim tidak boleh mena’ati otoritas yang melanggar kehendak Allah.[7]
Gagasan Hasan Al-banna soal peranan wanita sangat tradisional, meski dia menuliskan pandangan konservatifnya dengan istilah-istilah yang menyatakan memiliki basis yang natural dan tujuan yang baik. Dalam esainya soal wanita Muslim, dia menulis bahwa Islam memberikan kepada wanita hak personal dan politik yang sempurna. Namun pria dan wanita memiliki peran yang berbeda dalam masyarakat, berdasarkan perbedaan alamiah, biologis. Karena itu, Islam memberikan bimbingan kepada wanita untuk memenuhi peranan alamiah anugerah Allah, tempat Allah adalah rumah, dan peran utamanya adalah ibu, istri, dan pengatur rumah tangga. Maka dari itu, gadis muslim harus dipersiapkan untuk memikul tanggung jawabnya nanti bila sudah dewasa, dengan diajari membaca, menulis, aritmatika, agama, sejarah awal Islam, gizi, merawat anak, dan mengatur rumah tangga. Wanita tidak perlu belajar hukum, bahasa asing, atau ilmu teknik, karena tempatnya adalah di rumah.[8]
Lahirnya Ikhwanul Muslimin
Organisasi pergerakan Islam yang didirikan Hasan Al-Banna di Mesir pada Maret 1928 bernama Ikhwanul Muslimin, disingkat Ikhwan. Melalui organisasi ini, pendiri bermaksud membangkitkan kesadaran beragama bangsa Mesir, membangun kehidupan sosial sesuai dengan ajaran Islam, dan menumbuhkan daya juang untuk membebaskan diri dari penjajahan Inggris.
Semula, Ikhwan adalah sebuah gerakan dakwah yang ditujukan bagi lapisan masyarakat paling bawah, dnegan sebagian besar pendukung yang terdiri dari kaum buruh di Terusan Suez. Tetapi setelah menyaksikan penderitaan masyarakat buruh yang tak berujung. Hasan Al-Banna kemudian mengubahnya menjadi gerakan politik.
Pada fase awalnya, kegiatan politik Ikhwan masih bergerak di bawah tanah dan bersifat rahasia. Pandangan politiknya disalurkan melalui mesjid. Ikhwan mencari pendukung dan merintis jalan untuk mendirikan cabang secara rahasia melalui mesjid. Dengan cara ini, Ikhwan cepat berkembang. Empat tahun kemudian, Ikhwan telah mempunyai cabang hampir di seluruh daerah Terusan Suez. Di kawasan itu Ikhwan mulai mendirikan mesjid, sekolah, dan pusat pengajian, serta membina individu rumah tangga. Cabang Ikhwan dengan cepat terbentuk di kota lain. Pada 1940 telah terbentuk 500 cabang, selanjutnya pada 1949 menjadi 2.000 cabang dengan sekitar setengah juta anggota aktif. Untuk menjalin komunikasi, Ikhwan menerbitkan majalah, yaitu Ikhwan al-Muslimin, at-Ta’arruf.[9]
Pemikiran Politik Ikhwanul Muslimin
Sasaran pokok perjuangan politik Ikhwan adalah : 1. Memerdekakan Mesir dan negara Islam lainnya dari kekuasaan asing; 2. Mendirikan pemerintahan Islam yang bersadarkan Al-Qu’ran dan hadist dengan contoh model khilafah ( kekhalifahan ) pada zaman al-Khulafah ar-Rasyidun.
Dengan sasaran perjuangan tersebut, Ikhwan dengan tegas menentangkan konsep negara sekuler yang pada masa itu diperjuangkan oleh sebagian pembaru Mesir. Ikhwan berpendapat bahwa Islam bukan hanya sekadar agama, Islam adalah sebuah sistem perundang-undangan yang lengkap untuk kehidupan manusia ( Nizam al-Hayah ). Dalam Islam terdapat dasar sistem politik, ekonomi, kemasyarakatan, kenegaraan, perundang-undangan, dan seluruh sistem lain kehidupan manusia.
Untuk mewujudkan konsep khilafah, Ikhwan menetapkan tahapan perjuangan, yaitu ; tahap pertama, membentuk pribadi Muslim ( ar-rajul al-muslim ); kedua, membentuk rumah tangga Muslim ( al-bait al-muslim ); ketiga, membentuk bangsa Muslim ( asy-sya’b al-muslim ); dan keempat, membentuk pemerintahan Muslim ( al-hukumah al-muslimah ) yang perwujudannya dimulai dari tingkat akal dan berujung pada seluruh negeri muslim yang bersatu sebagai satu negara, yaitu khilafah.
Untuk mewujudkan tujuan dan sasaran perjuangan, Ikhwan menetapkan langkah progresif dan tekadang dibarengi dengan tindak kekerasan. Pusat komando Ikhwan, yang dipindahkan dari Ismailia ke Cairo, membentuk kesatuan pelopor yang dipersiapkan untuk melawan penjajah Inggris. Kemudian mereka juga mendidirikan organisasi rahasia bersenjata dan menjalin kontak dengan Gerakan Perwira Merdeka yang dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser.[10]
Ikhwan menyerukan pembentukan pemerintahan Islam yang dijalankan atas bimbingan Ulama’ dan berusaha keras menerapkan Syari’ah Islam, menyerukan penataan perekonomian yang selaras dengan ajaran Islam dan prinsip sosialis, serta berusaha mendistribusikan penghasilan secara adil. Dengan berpegang teguh terhadap landasan kitab suci Islam, dalam rangka menekankan identitas sosial dan politik Islam, dan untuk mengadaptasikan prinsip-prinsip Islam terhadap kebutuhan sebuah masyarakat modern. Ikhwan melancarkan perhatian kepada reformasi moral, pendidikan, proyek ekonomi, dan pembentukan sebuah negara Muslim.[11]
Ikhwan memberikan dukungannya bagi pihak yang mampu berbuat baik, dan memberikan nasihat dengan etika Islam bagi pihak yang berbuat buruk. Usaha meraih kekuasaan bukanlah tujuan utama Ikhwan. Namun yang dituntut adalah kerjasama untuk mendirikan daulah Islam yang menyerahkan urusannya kepada Allah swt.[12]
[1] Ilyas Hasan, Para Perintis Zaman baru Islam ( Cet. II, Mizan, Bandung, Desember 1996 ) hlm. 127.
[2] Anis Matta, dkk., Risalah Pergerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun 1 ( Cet.XIII, Era Intermedia, Surakarta, 2006 ) hlm.17.
[3] Prof. Dr. H. Ramayulis, Dr. H. Samsul Nizar, M.A., Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam : Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia ( Cet.I, Quantum Teaching, Jakarta, November 2005 ) hlm. 85- 86
[4] Ibid., hlm. 87.
[5] Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 ( Cet. I, Gema Insani, Jakarta, Desember 2006 ) hlm. 202-203.
[6] Ilyas Hasan., Opcit., hlm. 134.
[7] Opcit., hlm. 136- 138.
[8] Opcit, hlm. 145.
[9] Nina M. Armando., Ensiklopedi Islam ( Edisi Baru, Ichtiar Baru Van Hoeve, jakarta, 2005 ) hlm. 150.
[10] Ibid., hlm. 151.
[11] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam ( cet. I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999 ) hlm. 119.
[12] Herry Mohammad, opcit., hlm. 205.
0 komentar:
Post a Comment