MUSIM TURUN SAWAH
Di dalam adat Aceh masih kental dengan segala peraturan dan sanksi-sanksi, maka pada kesempatan ini saya ingin sedikit menceritakan adat turun sawah ( treun u blang; dalam bahasa Aceh ) yang didalamnya banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemilik sawah, sehingga mendapatkan sanksi-sanksi. Cerita ini saya angkat dikarenakan hampir tiap tahun banyak pemilik sawah yang mendapatkan sanksi dari ulahnya sendiri. Ceritanya begini;
Musim turun sawah, sudah menjadi suatu hukum yang tidak tertulis pada masa dulu dan sudah menjadi peraturan di kecamatan bahkan kabupaten pada masa sekarang. Hanyasaja sanksi yang dibuat oleh pemerintah berbeda dengan sanksi yang dibuat oleh mereka sendiri ( kaum adat ). Misalnya bagi yang tidak mengindahkan himbauan, maka akan dikenakan denda berupa uang, sanksi ini dibuat oleh pemerintah.
Tapi sangat berbeda dengan kejadian dalam masyarakat, walaupun pemerintah sudah mengambil alih, setidaknya sanksi-sanksi adat juga masih berlaku. Sebelum masa turun sawah, semua pemilik sawah wajib pergi bersama-sama untuk gotong-royong membersihkan kali dan ditempat persawahan ( krueung; dalam bahasa aceh ; biasa kalau di daerah kami, pemilik sawah itu membersihkan kali di keumala sampai ketempat persawahan ). Untuk kelancaran dalam mengairi air supaya sawah cepat-cepat bisa dibajak. Siapa saja yang tidak ikut dalam gotong-royong tersebut, maka sanksinya tidak akan diberi jatah air untuk mengairi ke sawahnya ( kadang-kadang ada belas kasihan, maka sesudah semuanya mendapatkan jatah, sesudah itu baru dikasih izin untuk mengairinya dengan berbagai perjanjian , supaya tidak mengulang lagi hal demikian ).
Pembuatan pagar sekeliling persawahan itu, dikenakan jatah semuanya bagi pemilik sawah supaya adil, dalam hal ini belum saya temukan suatu pelanggaran yang tidak membuat pagar yang kena jatahnya. Sesudah selesai semuanya, maka masa untuk semai biji padi dilakukan secara serentak ( biasa diberi pengumuman masa mulai semai biji padi ) dengan tujuan nantinya tidak ada ketinggalan pada masa penanamannya. Walaupun pagarnya sudah dibuat, tetapi bagi pemilik binatang ternak untuk menjaga-jaga binatang ternaknya supaya tidak masuk kearea persawahan. Bagi siapa saja yang tidak mengindahkannya , maka jikalau binatang ternaknya ditemukan di area persawahan, si pemilik binatang ini wajib mengganti rugi kerusakannya. Sering ditemukan, kalau binatang yang masuk ke area persawahan langsung di bacok.
Tetapi hal yang demikian, sekarang ini setidaknya sudah berkurang di dalam masyarakat yang ada di daerah tempat tinggal saya. semenjak di pegang langsung oleh pihak pemerintah kecamatan yang bekerja sama dengan Imum Mukim dan petua-petua adat yang ada di masyarakat. Salah satunya, sekarang pagar sekeliling persawahan itu sudah dibuat oleh pemerintah, jadi tidak merepotkan lagi bagi pemilik persawahan dan pemilik binatang ternak. Dan segala peraturan-peraturan yang lainnya.
Tanggapan saya terhadap permasalahan tersebut ;
ü Yang sebenarnya setiap adat itu, walaupun adanya suatu peraturan yang dibuat oleh pemerintah, tidak bisa dipisahkan dalam masyarakat. Karena adat itu adalah suatu kebiasaan yang sudah melekat di dalam tubuh masyarakat yang di dalamnya ada unsur hukum dan sanksi.
ü Setiap hukum adat itu membantu/ memperkuat berjalannya hukum negara disebuah daerah, kalau misalnya hukum adat tidak diterima oleh pemerintah, maka hukum negara sangat sulit untuk diterapkan di masyarakat seperti hukum yang dibuat ketika datang musim turun sawah.
ü Kalau tidak diterapkan oleh hukum adat dengan persetujuan bersama ( dan sekarang sudah diambil alih oleh pemerintah dengan kerja sama dengan Imum Mukim dan petua-petua adat ) hal demikian, maka sudah banyak masyarakat yang menjadi korban, banyaknya terjadi pertumpahan darah, caci-maki, dendam dan banyak hal lainnya yang tidak diharapkan.
ü Ada suatu sikap pemilik sawah yang tidak mengontrol emosinya, yang langsung membacok binatang ternak yang masuk ke area persawahan. Hal ini sangat tidak baik, dan akan berakibat fatal, bisa menjadi permusuhan yang besar antara pemilik sawah dengan pemilik binatang ternak. Salah satu jalan keluarnya adalah harus saling memahami, mematuhi dan pihak adat juga harus mengatur hukum yang lain apabila terjadi lagi hal yang demikian.
ü Kalau pemerintah ingin membuat peraturan tentang turun sawah, setidaknya harus mengadopsi / mengambil / mengesahkan yang layak dijadikan hukum untuk kemaslahatan bersama di dalam masyarakat, seperti membuat batas waktu untuk semai , penanaman, dan sebagainya yang menyangkut dengan hal tersebut.
ü Karena jikalau pemerintah tidak mengesahkan beberapa poin penting dari hukum adat, sangat sulit untuk mejalankan segala hukum yang dibuat oleh pemerintah.
0 komentar:
Post a Comment